Tak ada yang memberitahu Soe Tjen tentang nasib ayahnya dan genosida anti-komunis. Sampai ia mendengar kisah itu dari ibunya, setelah ayahnya meninggal dan Suharto turun tahta. Oleh Aria Danaparamita.
Iklan
Besar di Surabaya, pada massa Orde Baru Soeharto, buku sekolah yang ia baca menyatakan bahwa pada kegelapan malam 30 September 1965, Partai Komunis (PKI) kader Indonesia menculik dan membunuh enam jenderal dalam usaha kudeta.
Kemudian, Mayor Jenderal Soeharto mengerahkan tentaranya untuk menghancurkan pemberontak ini, dan munccullah sebagai pahlawan nasional - dan menuai imbalan kediktatoran 31 tahun di Indonesia.
Hanya sesudah ayah Soe Tjen meninggal dunia empat bulan setelah jatuhnya Suharto dari kekuasaan pada tahun 1998, ibunya mengemukakan sebuah rahasai: bahwa ayah Soe Tjen pernah menjadi tahanan politik di tahun 1960-an, disiksa untuk ideologi “kiri”nya.
Menandai peringatan 50 tahun yang disebut kudeta gagal PKI, masih saja menjadi bahan perdebatan sejarah mengenai siapa yang membunuh para jenderal dan yang memberi perintah atas pembunuhan ini.
Selama Perang Dingin mulai meningkat, Indonesia dari tahun 1960-an menyaksikan ketegangan politik di bawah proklamator Indonesia Sukarno, yang juga menjadi simpatisan PKI. Sukarno menyatukan paham komunisme dengan agama dan nasionalisme ke dalam cita-cita pemerintahannya pada tahun 1960an.
Berkembangnya komunisme secara pesat mengkhawatirkan Amerika Serikat dan CIA terus mengamati perkembangan ini. Pembantaian yang dipicu oleh peristiwa 30 September membalik posisi komunis dari kekuatan politik yang tangguh menjadi musuh yang harus dibasmi.
Namun, berbagai sejarah resmi telah menghilangkan kenyataan berikut: bagaimana regu tentara dan serta masyarakat sipil menangkap, membunuh, dan menyiksa tidak hanya anggota partai komunis, tapi juga siapa pun yang dituduh ada hubungan dengan politik kiri.
Ayah Soe Tjen bisa bertahan hidup dari penjara. Tapi Komisi Nasional Indonesia untuk Hak Asasi Manusia memperkirakan lebih dari 500.000 orang tewas di sekitar tahun 1965, dan ratusan ribu lebih dipenjarakan.
Setelah beberapa dekade ketakutan dan kesenyapan, beberapa orang mulai angkat suara. Komisi resmi menyatakan pembersihan "kejahatan terhadap kemanusiaan" pada tahun 2012 - tahun yang sama saat "The Act of Killing", film dokumenter Joshua Oppenheimer tentang jagal, dirilis. Film berikut, "Senyap", diputar perdana di Indonesia pada November lalu.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.
Foto: DW
10 foto1 | 10
Bungsu dari empat bersaudara, Soe Tjen Marching selalu merasakan ada sesuatu yang tidak beres waktu dia kecil.
"Ketika saya bertanya untuk dokumen atau akte kelahiran atau apa pun, itu selalu rumit karena ayah saya mengubah namanya," kata penulis dan aktivis ini. "Sebagai seorang anak, saya mencoba untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Oppenheimer mengatakan banyak keluarga menyimpan rahasia untuk menghindari dicap sebagai komunis.
"Menurut saya, jutaan orang Indonesia hidup dalam keluarga yang menyimpan rahasia," kata Oppenheimer. "Mereka sudah tinggal dengan kisah kehilangan, dan trauma yang tak ingin diungkap oleh orang tua mereka, karena tidak ingin menanamkan stigma yang masih saja hidup karena ada hubungan dengan korban yang dituduh komunis. (bersambung ke hal 2..)
(..sambungan dari hal 1..) Ayah Soe Tjen dipenjara antara tahun 1966 dan 1968 di Kalisosok di Surabaya, di mana belasan tahanan sempit disesalkan ke sel sempit yang dibangun untuk dua.
"Kakak saya mengatakan bahwa ketika ia mengunjungi ayah di penjara, punggungnya benar-benar hancur, ia tidak bisa berjalan, dan mereka pikir dia akan mati," kata Soe Tjen. "Para tapol itu disiksa dan tidak diberi makan, sehingga banyak orang meninggal."
Soe Tjen memutuskan untuk menguak kisahnya dengan melawan keinginan dari ibunya, yang masih hidup dalam ketakutan. Dia mulai bertemu korban atau keluarga korban, dan mendirikan kelompok solidaritas Keluarga '65. Dia sedang menulis sebuah buku dengan kesaksian dari korban dan keluarga, termasuk dirinya sendiri.
Pada awalnya, Soe Tjen mengatakan, berbagai ancaman membuatnya takut. "Saya mendapat mengancam ratusan kali: 'Akan diperkosa, dibunuh, disembelih,'" katanya.
Dan banyak sekali yang menuduh Soe Tjen Marching sebagai komunis, yang secara hukum masih dianggap subversif di Indonesia. Keputusan Majelis Rakyat No 25 tahun 1966 mengenai larangan "semua kegiatan yang menyebar atau mengembangkan ide-ide atau ajaran Komunis / Marxis-Leninis".
Ini antagonisme dirasakan antara Islam dan komunisme secara historis berakar pada persaingan politik, termasuk antara PKI dan organisasi Muslim Nahdlatul Ulama (NU), kata Kevin Fogg, seorang peneliti Islam di Asia Tenggara di Universitas Oxford.
Ganyang Malaysia: Manuver Terakhir Sukarno
Konfrontasi dengan Malaysia menandai tahun-tahun terakhir kekuasaan Sukarno. Berbekal dukungan Uni Sovyet dan Cina, sang pemimpin besar akhirnya memulai kampanye ganyang Malaysia yang berakhir pahit buat Indonesia.
Foto: gemeinfrei
Manuver Politik Berbuah Isolasi
"Soal pengganyangan Malaysia adalah soal nasional," teriak Sukarno saat berpidato membela politik konfrontasinya pada 1964. Setahun sebelumnya dia menentang niat Inggris membentuk negara federal Malaysia yang menggabungkan Serawak. Sebagian menulis Sukarno ingin mengalihkan publik dari kisruh politik dalam negeri. Akibat konflk Malaysia, Indonesia semakin terisolasi dari dunia internasional
Foto: picture-alliance/dpa
Krisis Diplomasi Disambut Amuk Massa
Setelah Malaysia terbentuk September 1963, Indonesia langsung memutuskan hubungan diplomatik. Beberapa hari kemudian massa merusak gedung Kedutaan Besar Inggris dan Singapura. Sebagai reaksi, pemerintah Malaysia menangkapi agen rahasia Indonesia. Ribuan penduduk juga berunjuk rasa di depan kedutaan besar Indonesia di Kuala Lumpur.
Foto: gemeinfrei
Perang Kecil demi Gagasan Besar
Sukarno pun memerintahkan RPKAD buat menyusup ke Serawak buat membina sukarelawan lokal. TNI juga mendukung upaya kudeta di Brunei Darussalam dengan mendidik 4000 milisi bersenjata. Akibatnya Inggris yang saat itu masih memiliki pangkalan tempur di Singapura mengirimkan pasukannya ke Kalimantan Utara.
Foto: gemeinfrei
Menyusup dan Takluk
TNI berulangkali menggelar operasi penyusupan dengan mengirimkan sukarelawan dan serdadu ke utara Kalimantan. Pada September 1964, militer Indonesia bahkan menerjunkan pasukan gerak cepat ke semenanjung Malaysia. Dari 96 pasukan terjun payung, 90 di antaranya berhasil ditangkap atau dibunuh oleh serdadu Malaysia dan Inggris.
Foto: gemeinfrei
Kalimantan Berdarah
Militer Inggris tidak cuma membantu pembentukan angkatan bersenjata Malaysia, melainkan juga mendidik anggota suku-suku lokal buat bertempur melawan penyusup Indonesia di utara Kalimantan. Tapi menyusul sikap keras Jakarta yang bersikukuh menyusupkan milisi bersenjata ke Malaysia, Inggris kemudian menggelar kampanye militer yang disebut Operasi Claret.
Foto: gemeinfrei
Operasi Claret
Dalam operasi tersebut Inggris dan Malaysia memindahkan garis pertahanan ke wilayah Indonesia buat menghadang penyusup. Karena kehawatir menyulut perang terbuka dengan Indonesia, Inggris melaksanakan operasi secara terbatas dan sangat rahasia. Kampanye militer ini berlangsung antara 1964 hingga 1966.
Foto: gemeinfrei
Berakhir di Era Suharto
Politik Ganyang Malaysia berakhir setelah kekuasaan Sukarno dilucuti setelah peristiwa G30SPKI. Suharto yang kemudian berkuasa tidak berniat melanjutkan kebijakan pendahulunya itu. Walhasil penguasa baru Indonesia menggelar berbagai perundingan rahasia yang berujung pada kesepakatan damai Agustus 1966. Sebanyak 590 tentara Indonesia tewas, sementara di pihak Inggris tercatat 114 serdadu.
Foto: DW
7 foto1 | 7
"Perselisihan pahit antara NU dan PKI memuncak di akhir 1950-an, setelah komunis mendapat kemenangan besar dalam pemilu provinsi 1957 ... dan setelah PKI mulai mengusulkan - dan kadang-kadang melakukan tindakan menyita tanah," Fogg menjelaskan dalam email.
"Sebagian besar kebencian terhadap komunis adalah politik praktis, tetapi para pelaku ini kemudian bisa mengandalkan retorika agama untuk membenarkan surut apa yang mereka lakukan," kata Fogg.
Seperti film-film Oppenheimer mengungkapkan, banyak pelaku tetap berkuasa baik di tingkat lokal dan nasional. Tapi perlahan, korban dan keluarga korban mulai maju, kontra-narasi mereka memicu mungkin pertempuran terbesar belum alih kontrol dari sejarah Indonesia.
Untuk korban, perjuangan untuk keadilan masih jauh dari selesai.
"Tentu saja itu tidak mudah karena kroni Orde Baru masih berkuasa," kata Soe Tjen Marching. "Tapi itu pilihan Anda apakah Anda ingin tetap diam dan menyerah atau terus. Saya menolak untuk menjadi takut."
* Diterjemahkan dari hasil wawancara Al Jazeera dengan Soe Tjen Marching: Revisiting an Indonesian massacre 50 years on. (http://www.aljazeera.com/indepth/features/2015/09/revisiting-indonesian-massacre-50-years-150930055803832.html)