1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
TerorismeEropa

Peneliti: "Terorisme Adalah Sebuah Taktik, Bukan Ideologi"

17 September 2024

Banyak pemuda yang orang tuanya bermigrasi dari Balkan kini terjerumus ke dalam teror islamis. Untuk mencegah hal ini perlu dialog, integrasi dan pencegahan, kata sejarahwan Austria Robert Pichler dalam wawancara DW.

Polisi di pusat kota München setelah percobaan serangan teror ke Konsulat Jenderal Israel
Polisi di pusat kota München setelah percobaan serangan teror ke Konsulat Jenderal IsraelFoto: Matthias Schrader/AP/dpa/picture alliance

Deutsche Welle: Pada 5 September 2024, serangan teroris terhadap Konsulat Jenderal Israel di München berhasil digagalkan. Pelakunya seorang warga Austria asal Bosnia yang sebelumnya diketahui sebagai seorang Islamis. Ini merupakan kasus ketiga – setelah serangan di Wina pada tahun 2020 dan rencana serangan ke konser Taylor Swift di Wina baru-baru ini. Pelakunya para pemuda Muslim asal Balkan. Apakah ada pola radikalisasi di Eropa Tenggara?

Robert Pichler: Tampaknya, propaganda para pengkhotbah islamis yang penuh kebencian, menawarkan kepada sebagian umat Islam di Eropa semacam rumah baru, di mana mereka merasa diterima dan dapat menyalurkan frustrasi terburuk mereka ke dalam penolakan dan kebencian terhadap segala sesuatu yang dianggap tidak halal. Yang tidak halal adalah cara hidup Barat, yakni nilai-nilai dan kebebasan yang diperjuangkan di sini dalam konflik panjang melawan dominasi yang berdasarkan dogma agama.

Tujuan politik apa yang secara spesifik ingin dicapai oleh teroris Islam?

Pertama-tama, terorisme adalah sebuah taktik, bukan sebuah ideologi. Teror Islam dikaitkan dengan harapan akan keselamatan. Si pembunuh dijanjikan kehidupan setelah kematian dan ketenaran di kalangan pengikut yang memiliki pemikiran yang sama. Propaganda teroris ISIS tumbuh subur dengan visi tatanan politik Islam yang menolak legitimasi negara demokrasi dan memperjuangkan kebijakan pan-Islam dalam semangat menegakkan kembali kekhalifahan.

Robert PichlerFoto: privat

Kaum muda yang menganut pandangan ini sering kali tidak sadar akan implikasi politik dari tindakan mereka. Mereka menjadi instrumen fundamentalisme yang dikendalikan dari jarak jauh dan mengutuk Barat, demokrasinya, mencela penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kaum minoritas.

Dalam persepsi Barat, Islam sedang disalahgunakan oleh fundamentalisme politik. Tapi faktanya, etno-nasionalisme punya ciri serupa. Bayangkan saja penghinaan terhadap demokrasi dan cara hidup Barat yang dilakukan oleh kaum intelektual Rusia yang setia kepada Putin, yang memicu perang melawan Ukraina dan sebagian kelompok Ortodoksi, dan hal-hal yang ekstrem dari populis kanan dan kiri di Eropa, yang diterima dengan baik.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Orang tua pelaku teror di München dan Wina berasal dari negara-negara Balkan. Mereka bekerja dan hidup normal. Keturunan mereka mempunyai kondisi finansial yang lebih baik dibandingkan orang tuanya – namun sebagian mereka terbuka terhadap propaganda islamis yang kejam…

Banyak hal telah berubah sejak tahun 1970an dan 80an. Ketika itu, para pekerja migran Yugoslavia datang ke Austria atau Jerman untuk bekerja di sini. Tidak banyak yang berniat untuk tinggal secara permanen. Mereka secara halus disebut sebagai "pekerja tamu”, bukan sebagai imigran. Generasi pertama pekerja migran ini hampir tidak terlihat dalam kehidupan penduduk setempat.

Masa kini, khususnya di kalangan generasi muda imigran, penting untuk menonjol, terlihat, dan tampil berbeda dari yang lain. Islam telah menjadi ciri khas dan bagian dari identitas. Tidak sedikit dari generasi muda ini – sebagian besar laki-laki – telah memilih bagian Islam yang paling reaksioner sebagai standar mereka, sebagai budaya acuan mereka.

Suara-suara kritis dari masyarakat sendiri hampir tidak terdengar. Setelah kelompok islamis mencoba melakukan serangan teror di konser Taylor Swift di Wina, komunitas muslim dan perwakilan resmi komunitas Islam di Austria segera menyatakan penolakan mendasar mereka terhadap kekerasan dan ekstremisme.

Tapi di lingkungan intelektual dan liberal di Austria kebanyakan tidak bersuara kritis, karena mereka tidak ingin dituduh rasis dan Islamofobia. Sebaliknya, penolakan terhadap Islam semakin meluas di kalangan masyarakat umum. Ada ketidakpercayaan yang bisa meluas dan berubah menjadi kebencian mendalam, yang kemungkinan besar akan terdengar pada pemilu mendatang.

Apakah ada konflik identitas di kalangan generasi muda Islam yang berkontribusi untuk masalah ini ?

Tantangan-tantangan yang muncul seiring dengan perubahan kehidupan dan konflik-konflik seputar krisis identitas memang seringkali tidak direfleksikan secara memadai. Anak-anak yang cukup lama putus sekolah, dan juga para perempuan, yang sebagian besar datang ke Austria tanpa keterampilan atau pelatihan bahasa apa pun. Mereka dirugikan, didiskriminasi karena asal usul mereka, dan seringkali mendapat pekerjaan dengan gaji rendah.

Dalam kelas saya, saya sering bertemu dengan anak-anak pekerja migran yang minat utamanya adalah mengetahui lebih jauh asal usul mereka, dan latar belakang mengapa mereka sampai di Austria. Hal ini jarang dibicarakan di rumahnya. Jadi banyak orang bertanya pada diri sendiri pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang identitas mereka – tentang asal-usul mereka, tentang warisan budaya orang tua dan kakek-nenek mereka, dan tentu saja tentang penyebab konflik dan perang (sehingga generasi orang tuanya harus meninggalkan kampung halaman).

Banyak dari generasi muda ini yang mencari, mencoba berbagai hal, termasuk memasuki dunia kehidupan Islam – yang hadir dalam berbagai corak.

Apa yang bisa dilakukan lebih baik oleh masyarakat, sekolah, dan lembaga lainnya?

Pendidikan tidak diragukan lagi merupakan faktor kunci, namun banyak sekolah dengan proporsi imigran yang tinggi tidak lagi fokus pada penyampaian pengetahuan, melainkan melakukan pekerjaan sosial, manajemen krisis, pekerjaan kompensasi untuk hubungan orang tua-anak yang tidak seimbang, dan untuk mengatasi permasalahan yang ada dengan trauma yang dialami anak-anak dan generasi muda di wilayah krisis dan perang. Sekolah juga harus berperan sebagai instrumen penyeimbang dalam melawan radikalisme agama dan etnis. Khususnya dalam bidang ini, pendidikan yang mendasar, dalam arti pemikiran yang tercerahkan, menjadi hal yang paling penting.

Radikalisasi merupakan permasalahan kompleks yang tidak dapat diselesaikan dengan resep populis. Pencarian penyebab dan pengembangan solusi hanya dapat didasarkan pada dialog, integrasi dan pencegahan.

Dr. Robert Pichler adalah antropolog sejarah di Akademi Ilmu Pengetahuan Austria. Dia melakukan penelitian tentang migrasi dan transnasionalisme, keluarga dan kekerabatan di Balkan.

Artikel ini diadaptasi dari artikel DW bahasa Jerman

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait