Apa cerita di balik tanda "SOS" diatas lahan kebun sawit yang ia buat? Apa pendapatnya tentang pengrusakan karyanya di Medan? Simak wawancara ekslusif DW dengan sang seniman jalanan Ernest Zacharevic.
Iklan
Seniman jalanan asal Lithuania yang berbasis di Malaysia tersebut memiliki karya jalanan yang mendunia. Ia mengaku proyek "SOS"-nya di Sumatera adalah karya seni terbaik yang pernah ia buat. Dengan skalanya yang besar ia bercerita proses pembuatan tanda "SOS" tersebut. Setelah karyanya tersebut mencuat di media dukungan pun mengalir. Proyek Splash and Burn merupakan kampanye seni untuk menunjukkan keprihatinan atas dampak perkebunan kelapa sawit terhadap komunitas dan spesies langka di nusantara. DW Indonesia berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan Ernest Zacharevic.
Deutsche Welle (DW):Apa yang melatar belakangi Anda membuat kampanye Splash and Burn? Mengapa melalui media karya seni jalanan?
Ernest Zacharevic: Saya telah membuat karya seni jalanan dalam waktu yang lama. Saya telah menjadi seniman sejak saya kecil. Dan membuat karya jalanan adalah gairah saya dan menjadi karir saya sekarang. Karya seni saya selalu spesifik tentang lingkungan. Tentang orang-orang dan komunitas di sekitar saya. Saya menetap di Malaysia sejak 2010. Dan bila anda tinggal di sini, anda tidak bisa menghindari tema tentang kelapa sawit, karena hal tersebut sangat mengganggu. Khususnya saat krisis pada tahun 2015, saat saya berkunjung ke tiap daerah, permasalahan kelapa sawit menjadi perhatian tiap orang di sini. Dan tiap orang mencari berbagai alasan dan solusi. Semua menyalahkan industri kelapa sawit di Indonesia, Singapura, Malaysia. Mereka saling menyalahkan. Hal tersebut mendorong saya melakukan riset dan sungguh sangat sedikit pengetahuan masyarakat tentang industri kelapa sawit dan politisasinya. Padahal mereka bilang melakukan penelitian. Saya sadar ini bukan kali pertama terjadi. Ini terjadi pada tahun 1997, 2008 dan ini terus terjadi tiap lima sampai 10 tahun.
Dari pengamatan saya lewat penelitian reaksinya selalu sama. Semua orang selalu terkejut dan saling menyalahkan. Setelah masa krisis terlewati mereka seketika melupakannya. Tak ada solusi dan resolusi yang ditawarkan. Saya anggap bahwa hal ini menyedihkan dan aneh. Jadi ide saya adalah untuk membawa permasalahan tersebut menjadi diskusi luas. Tidak menunggu sampai bencana terjadi. Karena saat bencana terjadi semua sudah terlambat untuk didiskusikan. Jadi tema ini muncul saat saya berada di Asia dan saya tidak bisa menghindari problem tersebut. Dan mulai muncul karya seni saya yang bersinggungan dengan hal tersebut. Hal itu juga mendorong saya untuk kembali ke Sumatera saat kedatangan saya pertama kali tahun 2008. Saya tidak bisa melupakan daerah itu dan semua hal yang saya alami setelah penelitian membuat semuanya masuk akal. Karena awalnya saya tidak tahu banyak soal Sumatera. Setelah semuanya saya pelajari membuat saya ingin kembali dan berbuat sesuatu di sana. Saya mulai berkomunikasi dengan masyarakat, LSM, seniman dan komunitas di Sumatera. Semua pihak sangat senang dengan ide saya, membuat kesenian publik di pulau itu, karena belum banyak hal serupa di sana dan seniman cukup dikekang. Tidak banyak kesempatan buat publik mengekspresikan dirinya di ruang publik. Semua elemen mendukung dan kita mulai berhubungan dengan banyak pihak dan akhirnya proyek Splash and Burn dimulai.
Muncul Tanda Bahaya SOS Raksasa di Perkebunan Sawit Sumatera
Seniman Lithuania 'mengukir' bekas perkebunan sawit jadi bertanda “SOS” di tepi hutan lindung Sumatera Utara sebagai ekspresi keprihatinannya atas kehancuran hutan di Indonesia.
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
Berdampak buruk bagi masyarakat dan spesies langka
Proyek 'Save Your Souls' karya seniman Lithuania, Ernest Zacharevic ini merupakan bagian dari kampanye keprihatiannya atas dampak perkebunan kelapa sawit terhadap komunitas dan spesies langka di Indonesia. Huruf “SOS” membentang setengah kilometer di lahan seluas 100 hektar di Bukit Mas, Sumatera Utara, dekat ekosistem Leuser.
Foto: All Is Amazing/Nicholas Chin
Tanda darurat di perkebunan sawit
"Saya ingin menyuarakan besarnya masalah dampak kelapa sawit," ujar Zacharevic yang membuat proyak tulisan tanda SOS raksasa di perkebunan di Sumatera Utara. "Proyek ini merupakan upaya untuk menarik kesadaran khalayak yang lebih luas." Proyek ini, bekerja sama dengan kelompok konservasi Sumatran Orangutan Society (SOS) yang berbasis masyarakat dan perusahaan kosmetik Lush.
Foto: All Is Amazing/Nicholas Chin
Mengumpulkan dana kampanye
Mereka mengumpulkan dana untuk membeli perkebunan melalui penjualan 14.600 sabun berbentuk orangutan tahun lalu. Tujuannya adalah, benar-benar menghijaukan kembali lahan itu, yang sekarang dimiliki oleh sayap organisasi SOS di Indonesia, The Orangutan Information Center (OIC), dengan bibit pohon asli. Akhirnya menghubungkan kawasan itu dengan lokasi penghijauan OIC terdekat.
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
Mengolah konsep dan bertindak
Zacharevic berbagi ide kreatif yang sangat berani: Ia bersama kami saat itu dan kebetulan saja tanah yang baru kami beli itu adalah kanvas instalasi yang sempurna, tulis SOS di situsnya. Sekitar seminggu, seniman ini bekerja di lahan itu, menyusun konsep dan akhirnya menebang 1.100 sawit untuk menguraikan pesan ini.
Foto: Tan Wei Ming
Menanam kembali hutan
Setelah menghijaukan kembali lahan itu,sayap organisasi SOS di Indonesia, The Orangutan Information Center (OIC), menanaminya lagi dengan dengan bibit pohon asli di habitat tersebut sebagai upaya penghijauan.
Foto: Skaiste Kazragyte
Jadi sorotan dunia
Sementara itu sang seniman mewujudkan konsep yang digodok bersama sebagai penanda daruratnya kondisi hutan di Indonesia yang banyak digunduli: SOS. Indonesia telah menjadi pusat perhatian dunia dalam upaya mengendalikan emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh penggundulan hutan lahan gambut untuk dijadikan perkebunan bagi industri seperti minyak sawit, pulp dan kertas.
Foto: Tan Wei Ming
Komitmen perusahaan-perusahaan
Tanda SOS ini muncul di tengah tekanan yang terus bergulir pada perusahaan kelapa sawit. PepsiCo dan perusahaan kosmetik Inggris Lush telah berkomitmen untuk mengakhiri penggunaan minyak kelapa sawit - yang ditemukan dalam beragam produk mulai dari sabun hingga sereal .
Foto: picture-alliance/dpa/V. Astapkovich
Meningkatkan transparansi
Sementara, awal tahun 2018 ini perusahaan raksasa Unilever mengatakan telah membuka informasi rantai pasokan minyak sawitnya untuk meningkatkan transparansi.
Foto: Getty Images
Masyarakat adat yang tersingkirkan
Hutan-hutan ini sering berada di daerah terpencil yang telah lama dihuni oleh masyarakat adat, yang mungkin tidak memiliki dokumen yang bisa membuktikan kepemilikan lahan atau dapat bersaing dalam akuisisi lahan di negara Asia Tenggara yang kaya sumber daya.
Foto: Skaiste Kazragyte
Flora dan fauna yang makin menghilang
Perluasan hutan juga menyebabkan berkurangnya populasi satwa liar. Cuma sekitar 14.600 orangutan yang tersisa di alam liar di Sumatera, demikian perkiraan para pemerhati lingkungan. "Kita semua berkontribusi terhadap dampak merusak dari minyak kelapa sawit yang tidak berkelanjutan, apakah itu dengan mengkonsumsi produk atau kebijakan pendukung yang mempengaruhi perdagangan," papar Zacharevic.
Para ahli lingkungan mengatakan pembukaan lahan untuk perkebunan pertanian di Indonesia, penghasil minyak sawit terbesar di dunia, bertanggung jawab atas kerusakan hutan. Penutupan hutan telah turun hampir seperempat luasnya sejak tahun 1990, demikian menurut data Bank Dunia. (ap/vlz/Ernest Zacharevic/SOS/rtr/leuserconservation/berbagai sumber)
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
11 foto1 | 11
DW:Bisa ceritakan proses pembuatan karya seni "SOS" di atas lahan perkebunan sawit tersebut?
Ernest Zacharevic: Inisiatif idenya muncul dua tahun lalu, waktu saya terbang dengan pesawat ke Sumatera dan saya lihat perkebunan sawit yang begitu luas. Mereka tampak seperti titik-titik dan berbaris rapih. Saya ingin mengubah lahan tersebut menjadi kanvas untuk dilukis. Lalu saya mulai berbicang dengan orang-orang. Pada awalnya mereka anggap ide ini terlalu ambisius dan cukup bodoh. Saya tidak tahu apakah proyek tersebut bisa menguntungkan. Karena proyek tersebut membutuhkan banyak tenaga dan pikiran. Saya pikir ide ini akan sia-sia dan bingung akan memulainya dari mana. Namun, saya berkomunikasi dengan Orangutan Information Center (OIC) dan mereka mempelajari protes tentang penggundulan hutan, deforestasi. Mereka pelajari dengan menebang kelapa sawit justru menguntungkan proses forestasi dan ini adalah bagian dari prosesnya. Setelah kami berbincang, ide ini ternyata tidak begitu sulit dan buruk seperti pandangan awal. Setelah perencanaan kami survei tempat mencari lahan mana yang paling cocok dibuat karya seni. Karena biasanya lahan illegal sulit dicari dan dicapai. Mereka tak tertanam dengan rapih dan susah untuk dibuat gambar. Akhirnya desember tahun lalu kami menemukan lahan di daerah Bukit Mas. Pihak OIC menghubungi saya "Hei kami mendapatkannya!". Dalam sebulan kami mematangkan rencana. Kemudian dalam 10 hari kita melakukan pemetaan dan penebangan tanaman. Begitulah kira-kira prosesnya.
DW:Ada respon dari pemerintah atau pihak industri kelapa sawit?
Ernest Zacharevic: Sejauh ini kami belum menerima respon langsung dari pihak industri atau pemerintah. Tapi kami dapat respon dari organisasi lingkungan hidup yang berafiliasi dengan perusahaan kosmetik dan perusahaan kopi. Mereka bersedia untuk memperbaiki kebijakan dan produknya untuk membuat lebih ramah lingkungan. Kami terus dapat berkomunikasi dengan beberapa perusahaan dan institusi. Jadi hal tersebut adalah respon yang sangat baik. Tidak banyak kritik atas hasil karya tersebut. Seperti yang saya sebutkan tadi. Tema insudtri kelapa sawit sudah menjadi permasalahan umum. Pihak industri dan pemerintah sepertinya sepakat akan problema ini dan harus mengambil langkah positif. Semakin tiap orang peduli dan terbuka mereka akan mendapatkan keuntungan. Saya pikir kalangan industri dan pemerintah tidak seharusnya menjadi oposisi proyek ini. Semua orang memiliki kepentingan untuk memperbaiki situasi. Bila anda melihat kebijakan mengenai industri kelapa sawit sekarang sudah banyak perubahan baik. Ini disebabkan banyaknya dukungan.
Biteback: Potensi Minyak Serangga Gantikan Minyak Sawit
Penggagasnya anak-anak muda. Idenya gantikan minyak kelapa sawit yang produksinya selama ini tidak ramah lingkungan, dengan memanfaatkan serangga.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Bermula dari eksperimen
Para anak muda yang tergabung dalam start up Biteback melakukan berbagai eksperimen dengan serangga. Hasilnya, minyak makan dibuat dari serangga. Potensinya bisa gantikan fungsi minyak kelapa sawit. Biteback telah mengembangkan sebuah proses untuk mengekstrak minyak dari serangga yang dapat dimakan. Ini adalah pilihan yang jauh lebih berkelanjutan untuk kelapa sawit.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Memanfaatkan ulat kumbang hitam
Jenis ulat yang digunakan adalah ulat kumbang hitam atau larva kumbang. Para peneliti mengikuti kompetisi-kompetisi internasional di manca negara sebelum berbuka usaha. Selain berkompetisi mereka juga terus menimba ilmu kembangkan bio teknologi yang berkaitan dengan pengembangan minyak serangga ini.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Gantikan minyak kelapa sawit
Maraknya perkebunan sawit telah mengundang kekhawatiran aktivis lingkungan karena besarnya penghancuran hutan untuk melakukan pertanian monokultur. Diharapkan di masa mendatang, minyak serangga ini bisa gantikan fungsi minyak sawit yang dianggap rugikan lingkungan lewat penebangan hutan besar-besaran yang juga telah banyak hancurkan ekosistem di Indonesia.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Fungsinya serupa
Tak jauh beda dengan kelapa sawit, minyak serangga bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam industri, mulai dari industri makanan, kosmetika hingga bahan bakar. Menurut peneliti yang terjun dalam bisnis ini, jika dalam setahun, minyak yang diproduksi sawit 4 ton per hektar, maka dalam satu hektar, bisa dihasilkan 150 ton minyak serangga dalam setahun.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Konsumsi Anda
Minyak sawit digunakan dalam banyak produk. Anda mungkin bahkan tidak menyadari berapa banyak yang Anda konsumsi dalam setahun. Ini adalah minyak nabati yang paling diperdagangkan secara internasional, dapat ditemukan di 50% semua barang kemasan mulai dari bahan makanan hingga kosmetik. Jika minyak serangga bisa gantikan fungsinya, diharapkan kerusakan akibat sawit dapat dikurangi.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Pakan dari limbah
Serangga membutuhkan sedikit pakan, air, tanah, dan hampir tidak menghasilkan gas rumah kaca. Tak sulit dipelihara, menurut para peneliti yang kini terjun di bisnis minyak serangga, pakan ulat kumbang hitam ini adalah limbah-limbah organik.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Berkompetisi sambil gaet pemodal
Salah seorang peneliti dan pebisnis Mush'ab Nursantio menceritakan, beberapa bulan setelah ikut berbagai kompetisi di manca negara, mereka berhasil menggaet para investor. Akhirnya ia dan rekan-rekannya pulang ke tanah air dan memberanikan diri membuka bisnis ini.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Menarik perhatian publik
Bisnis Biteback ini menarik tim Founders Valley DW untuk berkunjung dan melihat bagaimana cara kerja mereka. Dalam foto, tampak Fridtjof Detzner, organisator kompetisi Founders Valley DW, terjun langsung ke Indonesia dan lokasi bisnis. Start up ini adalah salah satu ide bisnis cemerlang.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Mengatasi anemia
Minyak serangga, selain bisa mereduksi penggundulan hutan, juga bisa memberi nutrisi penting bagi dunia dengan metode yang mudah digunakan. Minyak yang telah dibuat oleh Biteback sama dengan minyak goreng biasa. Dan karena minyaknya terbuat dari serangga, kandungan zat besinya tinggi sehingga bisa mengatasi anemia.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Ulat gorengnya bisa dimakan
Entomofag, atau memakan serangga, baru-baru ini mendapat banyak perhatian sebagai cara yang menjanjikan untuk mengatasi beberapa tantangan makanan dan gizi utama, yang dihadapi dunia. Serangga yang dapat dimakan karena sangat bergizi, mengandung asam lemak esensial, protein, kandungan mineral dan biokimia bernilai tinggi lainnya.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
Menangkan 10 ribu Euro
Anda punya ide bisnis cemerlang semacam ini ? Ikuti kontes Founders Valley DW. Kirim video gagasan start up atau bisnis Anda. Pemenangnya akan mendapat hadiah 10.000 Euro. Ditunggu hingga 15 November 2017.
Foto: Founders Valley/Biteback Indonesia
11 foto1 | 11
DW:Namun salah satu karya buatan anda di Medan, Indonesia, yang melukiskan anak-anak dan orang utan di atas becak dirusak orang. Apakah itu bentuk ketidaksukaan beberapa pihak terhadap karya anda?
Ernest Zacharevic: Itu banyak terjadi. Karena karya seni saya di jalanan, di ruang publik. Karya seni jalanan saya sering dirusak, jadi saya tidak terlalu terkejut. Dan Medan adalah tempat yang cukup luar biasa. Tempat yang cukup gila karena banyak hal terjadi, dengan banyaknya warga dan sedikitnya kehadiran polisi dan kamera pengawas. Jadi hal itu sangat lumrah terjadi. Tapi saya sangat senang dengan reaksi warga lokal karena sejak awal kami menyelesaikan karya itu banyak interaksi di media sosial Instagram. Dan juga setelah insiden pengrusakan tersebut mereka bereaksi dan menunjukkan betapa perhatiannya mereka terhadap karya tersebut. Hal itu sangat menyentuh saya, dan saya juga mendapatkan banyak surat, panggilan telepon yang menawarkan bantuan dan menawarkan perbaikan karya saya. Dukungan dari masyarakat Medan sangat menginspirasi dan memberikan harapan untuk kembali lagi ke sana dan membuat karya lagi.
Saya pikir pengrusakan itu bukan hal politis. Sepertinya ini hanya keusilan seseorang. Sejauh ini kami tidak pernah dapat tekanan dari dunia industri atau pemerintah. Karena pendekatan proyek ini adalah untuk menemukan bagaimana kita bisa memiliki industri kelapa sawit yang ramah lingkungan. Saya pikir semua pihak memiliki kepentingan saat ini. Karena banyak orang menginginkan industri kelapa sawit untuk bertahan untuk tetap menguntungkan Indonesia secara ekonomi. Tapi harus ada perkembangan dan juga harus ada perhatian khusus untuk membuat sebuah pendekatan yang menguntungkan semua pihak. Sejauh ini semua pihak mendukung.
DW:Ada rencana lagi untuk membuat karya seni jalanan serupa?
Ernest Zacharevic: Ya tentu saja. Splash and Burn proyek yang sedang berjalan. Kita membangunnya sebagai panggung untuk seniman dan organisasi untuk berkomunikasi dan berkerjasama untuk membuat karya kreatif dari bidang berbeda. Kami merencanakan proyek lagi di tahun ini, persisnya bulan ini di Medan. Kami merencanakan banyak aktifitas beberapa tahun ke depan. Kami berharap proyek ini bertambah besar untuk mengubah sedikit pandangan masyarakat umum. Kita terus berkembang.
Mengapa saya memilih Sumatera karena tidak banyak pilihan dan saya memiliki perasaan yang kuat di sana. Saya sangat mencintai Sumatera sejak pertama datang ke sana. Tapi saya ingin meluaskann hal ini ke Malaysia kita juga belum mencapai pulau Kalimantan karena kesulitan akses secara logistik. Masyarakat Indonesia dan Malaysia sangat mendukung proyek ini. Mereka mengetahui apa yang terjadi. Mereka anggap ini penting untuk masa depan. Tapi saat hal ini dibawa ke daerah lain seperti Cina, Eropa, atau negara-negara yang menjadi konsumen produk kelapa sawit dan memiliki kepentingan besar di industri ini, masyarakatnya sama sekali tidak mengerti permasalahan ini. Jadi kami ingin mendekati organisasi internasional, mungkin di masa yang akan datang kami ingin berkarya dan berkampanye di Eropa dan negara lainnya.
DW:Apa harapan anda dengan adanya proyek Splash and Burn ini?
Ernest Zacharevic: Untuk saya misi kampanye ini untuk mengekspresikan diri. Untuk mengekspresikan ide dan tetap kreatif. Menginspirasi orang lain untuk melakukan hal-hal kreatif. Saya ingin menginspirasi banyak orang apa pun bidang pekerjaannya. Kita harus tetap memiliki perhatian terhadap lingkungan dan alam. Saya harap ini bisa menginspirasi orang untuk berpikir dan melakukan lebih untuk lingkungan. Agar mereka bisa melakukan sedikit riset atas produk yang mereka gunakan dan kebijakan yang mereka jalani. Saya juga ingin mengajak pembuat kebijakan, yaitu pemerintah, khususnya di seluruh dunia tidak hanya di Asia Tenggara karena kebijakan internasional sekarang memiliki dampak besar yang dapat menekan pelaku industri. Saya berharap para pemuda, semua orang kreatif, bisa membuat kebijakan yang baik di masa depan. Agar lebih waspada dan sadar untuk membuat keputusan demi keberlanjutan kehidupan.
Bagaimana Ambisi Iklim Eropa Membunuh Hutan Indonesia
Ambisi Eropa mengurangi jejak karbonnya menjadi petaka untuk hutan Indonesia. Demi membuat bahan bakar kendaraan lebih ramah lingkungan, benua biru itu mengimpor minyak sawit dari Indonesia dalam jumlah besar.
Foto: picture-alliance/dpa/C. Oelrich
Hijau di Eropa, Petaka di Indonesia
Bahan bakar nabati pernah didaulat sebagai malaikat iklim. Untuk memproduksi biodiesel misalnya diperlukan minyak sawit. Sekitar 45% minyak sawit yang diimpor oleh Eropa digunakan buat memproduksi bahan bakar kendaraan. Namun hijau di Eropa berarti petaka di Indonesia. Karena kelapa sawit menyisakan banyak kerusakan
Foto: picture-alliance/dpa/J. Ressing
Kematian Ekosistem
Organisasi lingkungan Jerman Naturschutzbund melaporkan, penggunaan minyak sawit sebagai bahan campuran untuk Biodiesel meningkat enam kali lipat antara tahun 2010 dan 2014. Jumlah minyak sawit yang diimpor Eropa dari Indonesia tahun 2012 saja membutuhkan lahan produksi seluas 7000 kilometer persegi. Kawasan seluas itu bisa dijadikan habitat untuk sekitar 5000 orangutan.
Foto: Bay Ismoyo/AFP/Getty Images
Campur Tangan Negara
Tahun 2006 silam parlemen Jerman mengesahkan regulasi kuota bahan bakar nabati. Aturan tersebut mewajibkan produsen energi mencampurkan bahan bakar nabati pada produksi bahan bakar fossil. "Jejak iklim diesel yang sudah negatif berlipat ganda dengan campuran minyak sawit," kata Direktur Natuschutzbund, Leif Miller.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/Y. Seperi
Komoditas Andalan
Minyak sawit adalah komoditi terpanas Indonesia. Selain bahan bakar nabati, minyak sawit juga bisa digunakan untuk memproduksi minyak makan, penganan manis, produk kosmetika atau cairan pembersih. Presiden Joko Widodo pernah berujar akan mendorong produksi Biodiesel dengan campuran minyak sawit sebesar 20%. Di Eropa jumlahnya cuma 7%.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/Y. Seperi
Menebang Hutan
Untuk membuka lahan sawit, petani menebangi hutan hujan yang telah berusia ratusan tahun, seperti di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Riau, ini. "Saya berharap hutan ini dibiarkan hidup selama 30 tahun, supaya semuanya bisa kembali tumbuh normal," tutur Peter Pratje dari organisasi lingkungan Jerman, ZGF. "Tapi kini kawasan ini kembali dibuka untuk lahan sawit."
Foto: picture-alliance/dpa/N.Guthier
Kepunahan Paru paru Bumi
Hutan Indonesia menyimpan keragaman hayati paling kaya di Bumi dengan 30 juta jenis flora dan fauna. Sebagai paru-paru Bumi, hutan tidak cuma memproduksi oksigen, tapi juga menyimpan gas rumah kaca. Ilmuwan mencatat, luas hutan yang menghilang di seluruh dunia setiap enam tahun melebihi dua kali luas pulau Jawa