1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Antara Film A Man Called Ahok dan Politisasi Sinema

28 September 2018

Sutradara Putrama Tuta menolak filmnya, A Man Called Ahok, disebut bermuatan politis. Menurutnya film ini hanya mengisahkan latar belakang terbentuknya karakter Ahok dan alasan yang mendasari nasibnya saat ini.

Indonsien Jakarta Gouverneur Basuki Tjahaja Purnama
Foto: Getty Images/AFP/M. Hayat

November mendatang film A Man Called Ahok karya sutradara Putrama Tuta akan ditampilkan di bioskop-bioskop di tanah air. Film yang mengisahkan hubungan antara Basuki Tjahaja Purnama dan ayahnya itu terinspirasi dari buku berjudul serupa karangan Rudi Valinka

Kepada DW, Putrama Tuta, menolak filmnya disebut bermuatan politis. Ia mengaku hanya ingin menjelaskan seluk beluk pembentukan karakter Ahok dan alasan yang membawa nasibnya ke penjara di Mako Brimob, Depok. 

Inilah kutipan wawancara dengan sang sutradara tentang Ahok, keluarga dan politisasi dunia sinema di Indonesia.

Sosok Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sulit dipisahkan dari pidana penistaan agama yang menghantarnya ke penjara. Kenapa Anda justru memilih menghadirkan sebuah biopik tanpa politik?

Putrama Tuta: Karena buat saya sendiri, saya tidak perlu lagi menceritakan itu lagi. Buat apa saya membuat film di mana orang sudah tahu jalan ceritanya. Soal kasus penistaan agama mereka bisa tonton di Youtube atau membaca di majalah. Film ini bukan dibuat untuk meluruskan sebuah fakta. Gol saya sejak awal memang hanya ingin menjelaskan bagaimana karakter Ahok terbentuk dan kenapa ada manusia seperti dia.

Apakah anda mengkhawatirkan polemik?

Karena memang dari awal sasarannya tidak ke arah sana, maka unsur politik ini tidak pernah kami pikirkan. Buat saya pribadi sejak awal film ini tentang kisah hubungan antara anak dan ayahnya.

Apakah sebuah film non-politis adalah syarat yang Anda ajukan sebelum menggarap kisah Ahok?

Sejak awal ini memang keputusan kreatif saya. Sejak awalnya saya bilang sudut pandang yang paling cocok untuk mengangkat kisah Ahok ya seperti itu. Pada saat film ini datang ke tangan saya, yang saya bilang adalah yang paling penting film ini ditujukan buat orang Indonesia sendiri. Kalau memang pasarnya Indonesia, kita harus kasih lihat sesuatu yang mereka belum tahu. Jika film ini akan dibuat, maka filmnya harus mempunyai dampak sosial yang besar terhadap banyak orang. Makanya yang paling benar adalah menceritakan generasi mendatang tentang bagaimana Ahok bisa menjadi seperti itu. Jadi itu adalah sudut pandang saya terhadap film ini.

Apakah Anda terganggu jika film ini lebih dilihat sebagai instrumen politik ketimbang sebuah karya seni?

Kalau sebagai sutradara saya hanya ingin membuat film yang baik. Buat saya karaktor Ahok sangat sempurna untuk dibuat film. Ada banyak yang jatuh cinta sama dia dan banyak pula yang terinspirasi. Tapi di sisi lain banyak pula yang membenci dia. Jadi karakternya sendiri sudah punya konflik. Kami tidak perlu mengembangkan karakter lagi. Dia sudah punya dramanya sendiri. Tinggal bagaimana kita memotret dia saja.

Awal tahun lalu kita menyimak film 212: The Power of Love yang mengisahkan hubungan ayah dan anak di tengah aksi demonstrasi untuk menjatuhkan Ahok. Seperti Anda, sutradara Jastis Arimba mengaku filmnya tidak bermuatan politis, meski kemudian akhirnya tetap terseret ke dalam pusaran politik gerakan 212. Apakah Anda sebagai sineas muda terganggu dengan politisasi dunia sinema?

Menurut saya kalau ceritanya bagus, kayaknya layak dan malah harus dibuat film. Saya tidak setuju kalau film dijadikan alat. Tapi film adalah sebuah media untuk kita bercerita. Jadi bergantung pada pembuat film bagaimana mereka menciptakan dan mengisahkan ceritanya sendiri. Tentu kita harus bersikap obyektif dalam membuat film.

Tapi anda memahami nilai simbolik yang dimilik film Ahok ini?

Saya mengerti seberapa besar tokoh Ahok dan pengaruhnya pada masyarakat. Sebab itu saya ingin membuat film yang baik dan memiliki dampak yang baik pula. Dan saya tidak pernah diganggu sama sekali dalam cara saya bercerita. Saya diberikan kebebasan untuk bercerita, karena yang saya kisahkan hanya keluarga beliau.

Seperti apa sosok Ahok yang ingin anda ceritakan?

Yang jelas saya tidak mencoba atau memiliki tujuan untuk mengagung-agungkan dia sebagai sebuah karakter. Tokoh utama dalam film ini sebenarnya adalah Tjoeng Kim Nam dan bagaimana dia bersikap pada keluarganya sehingga dia punya anak seperti Ahok. Jadi saya ingin memperkenalkan apa yang Ahok pelajari dari kecil hingga dewasa, dan apa alasan di balik nasib dia saat ini.

Anda tentunya berhubungan dekat dengan Ahok dan keluarganya selama pembuatan film ini. Apakah anda sekarang mengerti motivasi yang menggerakkan beliau?

Dia memiliki motivasi berbeda yang memang berhubungan dengan apa yang terjadi dengan ayahnya. Bagaimana ayahnya menjadi alat dan dipergunakan oleh banyak orang sampai hidupnya berat. Di balik pengalaman itulah Ahok menemukan alasan untuk terjun ke politik dan alasan itulah yang saya ceritakan.

Wawancara oleh Rizki Nugraha

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait