1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Wayang Wolak-Walik, Hiburan Anak Korban Erupsi Semeru

Yovinus Guntur Wicaksono
8 Februari 2022

Dalam tiap pementasan, Ki Jumali selalu melibatkan penonton yang utamanya anak-anak untuk ikut mendalang. Mereka bisa merangkai cerita, mengenali situasi batin, dan mengenali karakter tokoh.

Anak-anak di sekitar lereng Semeru ikut jadi dalang dalam pertunjukan wayang wolak-walik
Anak-anak di sekitar lereng Semeru ikut jadi dalang dalam pertunjukan wayang wolak-walikFoto: Yovinus Guntur/DW

Lima anak yang berasal dari Dusun Sumbersari di kamar A, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, bergerak menuju belakang layar pentas wayang wolak-walik. Mereka rata-rata masih berusia 5 hingga 10 tahun, perlahan mulai ikut memainkan wayang wolak-walik milik Dalang Ki Jumali.

Anak-anak tersebut mulai memilih lakon atau tokoh wayang yang berbeda, mulai dari karakter hewan hingga manusia. Salah seorang anak pun memilih karakter naga, "karena kuat dan besar," ujar anak tersebut.

Sepanjang pentas wayang, tawa anak-anak terlihat lepas. Raut kegembiraan terlihat jelas di sana, seakan tak pernah terjadi apa-apa di lingkungan mereka. Padahal hanya beberapa waktu lalu yakni sejak Senin 20 Januari 2021, Gunung Semeru yang letaknya tidak jauh dari desa mereka tinggal mengeluarkan awan panas dan membuat seluruh warga desa mengungsi.

Pada pentas kali ini, Ki Jumali memilih cerita berjudul "Kebo Ilang" tentang pentingnya menjaga dan merawat hewan peliharaan atau ternak dengan telaten. "Pentas ini sekaligus sebagai trauma healing, bagi anak-anak yang tinggal di lereng Gunung Semeru ini," kata Ki Jumali kepada DW Indonesia.

Penonton bisa ikut jadi dalang

Ki Jumali sudah sering menggelar pentas keliling wayang wolak-walik seperti ini. Dan di setiap pementasan, Ki Jumali selalu memilih cerita yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Seperti persoalan lingkungan, persatuan bangsa hingga ancaman intoleransi.

Dinamakan wayang wolak-walik karena satu kelir atau layar sebagai media tempat wayang ditampilkan dapat dipakai oleh dua dalang sekaligus. Biasanya saat pentas, kedua dalang ini akan membawakan cerita yang masih saling berhubungan.

Soal cerita, jika biasanya dalam wayang purwa membawakan kisah Ramayana dan Mahabarata, di wayang wolak-walik tidak ada tokoh klasik yang ditampilkan. Tokoh-tokoh di pertunjukan ini lebih bersifat kekinian, menyesuaikan kondisi atau tren yang ada. 

Selain rajin mendatangi wilayah-wilayah bencana, Ki Jumali juga membuka sanggar di Kota Malang yang berfungsi sebagai rumah belajar wayang, musik, dan perpustakaanFoto: Yovinus Guntur/DW

Jadi, apabila pertunjukan wayang pada umumnya sering menampilkan tokoh dalam Ramayana seperti Anggada, Anila, Anjani, Bharata, Dasarata, Hanoman, Indrajit (Megananda) dan Jatayu, wayang wolak-walik lebih memilih karakter hewan dan tokoh bangsa, seperti Gus Dur, Jokowi, dan Soekarno.

Dalam setiap pementasan, Ki Jumali selalu melibatkan para penonton untuk ikut menjadi dalang. "Untuk itulah, saya menyebut wayang ini sebagai wayang partisipatif," ujar pria asal Malang ini.

Dengan partisipasi para penonton, tokoh dan karakter dalam pentas wayang ini lebih bisa di eksplorasi. Penonton juga bisa mengeluarkan kemampuan maupun perasaan yang dialami saat menjadi dalang. Lewat cara ini, penonton diberikan kepercayaan dan kemerdekaan untuk berekspresi.

Menurut Ki Jumali, ia selalu melibatkan peran aktif penonton untuk turut bermain bersama. Sasaran utamanya adalah anak-anak. Sebagai dalang, ia berperan sebagai fasilitator dan 'jembatan' para anak ini untuk ikut bermain.

Bebas berekspresi lewat permainan wayang

Biasanya, Ki Jumali akan membuat permainan terlebih dahulu sebelum pentas, seperti yang terjadi di lereng Gunung Semeru. Anak-anak diajak berdiskusi santai terlebih dahulu sambil diberikan pemahaman mengenai persoalan yang terjadi di sekitar mereka.

"Seperti di Dusun Supiturang ini. Saya mengajak anak-anak untuk lebih mengenal lingkungan. Misalnya dengan tidak membuang sampah sembarangan," tandasnya.

Musik pengiringnya pun dimainkan oleh anak-anak yang dipandunya agar menjadi lantun menjadi harmoni. Dari permainan oleh masing-masing anak inilah pertunjukan wayangnya menjadi kelompok bermain sehingga menjadi sebuah rangkaian cerita. 

Tokoh-tokoh di pertunjukan wayang wolak-walik lebih bersifat kekinian, menyesuaikan kondisi atau tren yang ada.Foto: Yovinus Guntur/DW

"Jadi anak-anak boleh memegang dan memainkan satu karakter apa saja, bagaimana mereka merangkai cerita, mengenali situasi batin, mengenali tokoh. Karena sebenarnya wayang ini sebagai media komunikasi, edukasi, dan bermain," ujarnya.

Dengan partisipasi anak-anak, wayang menjadi tidak monoton atau membosankan, serta membuat suasana menjadi lebih cair. Hal terpenting lainnya adalah anak-anak bisa mengenal wayang dan pesan-pesannya dengan baik.

Hiburan di tengah bencana

Susi, 38, salah satu warga setempat yang hadir untuk mengantarkan anaknya bermain, sangat senang adanya pentas wayang wolak-walik ini. Pentas wayang ini, bisa menjadi pelipur rasa khawatir bagi perempuan yang kesehariannya sebagai ibu rumah tangga ini. Apalagi ancaman erupsi Gunung Semeru masih belum berakhir hingga saat ini.

"Ini sangat menghibur, bisa menghilangkan stres dan spaneng masyarakat di sini setelah adanya erupsi Semeru kemarin. Anak-anak juga bisa kembali ceria," ujarnya.

Hal senada juga dikatakan salah seorang ketua RT setempat yang bernama Supad, 62. Menurutnya, kehadiran pertunjukan wayang wolak-walik bisa membawa kembali keceriaan anak-anak, sekaligus menjadi hiburan warga setelah bencana melanda tempat tinggal mereka. Sekadar informasi, akibat erupsi Semeru, sedikitnya 250 rumah di daerah tersebut rusak parah.

"Senang sekali, seperti yang kita lihat, betapa bahagianya anak-anak di sini bisa kembali bermain bersama. Bahkan ada yang protes, kenapa acaranya hanya sebentar padahal belum puas bermain," katanya. 

Kesempatan belajar gratis

Untuk terus melestarikan tradisi dan wayang wolak-walik, Ki Jumali membuka sanggar di Kota Malang yang berfungsi sebagai rumah belajar wayang, musik, dan perpustakaan. Sanggar yang menempati bangunan berukuran sekitar 6x3 meter ini tidak pernah sepi dari aktivitas.

Di sanggar ini, Ki Jumali meluangkan waktunya untuk berbagi ilmu di bidang seni. Utamanya musik. Pada setiap kegiatan di sanggar ini, Ki Jumali pun tidak pernah memungut biaya alias gratis. "Saya ingin anak-anak tetap mencintai wayang dan budayanya sendiri," tegasnya. (ae)