1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Weidengasse, Kawasan Heterogen di Köln

22 April 2009

Pada Perang Dunia II, kawasan ini hancur, tak tersisa apapun dari wilayah hunian, kantor dan perdagangan yang ramai pada masanya itu. Tahun 1970-an para pekerja tamu mulai mengurus kawasan yang terbengkalai tersebut.

WeidengasseFoto: Tamara Himmel

Weidengasse adalah nama jalan kecil di pusat kota Köln dengan jejeran toko di sisi kanan dan kirinya. Gasse dalam bahasa Jerman berarti lorong atau jalan kecil. Weidengasse populer karena beragam kultur yang ada di kota Köln, bisa ditemui di jalan ini. Warga Turki, Armenia, Persia, Yunani, Italia, Maroko dan Jerman hidup dan bekerja secara berdampingan di sini.

Sudah sejak awal abad pertengahan, jalan ini dihuni kelompok masyarakat yang heterogen. Pada Perang Dunia II, kawasan ini hancur, tak tersisa apapun dari wilayah hunian, kantor dan perdagangan yang ramai pada masanya itu. Tahun 1970-an para pekerja tamu yang datang ke Jerman, kebanyakan dari Turki, mengurus kawasan yang terbengkalai tersebut. Kini, pertokoan memenuhi sisi kiri-kanan jalan. Dari toko pembuat biola sampai tukang daging, toko desainer pakaian hingga kedai teh Turki, semua terwakili di sini.

Toko ikan di WeidengasseFoto: Tamara Himmel

Cetin Dag, pemilik salon Ankara di Weidengasse tengah beraksi. Gunting terjepit di antara bibirnya, sisir di tangan kiri, sementara alat cukur rambut di tangan kanannya lincah bergerak memangkas rambut hitam si pelanggan. Anak didiknya, Onur, tengah menghadapi pelanggan lain dengan kuas dan pisau cukur. Ia bekerja sambil berbicara pelan dengan si pelanggan, dalam bahasa Turki.

"Ya beginilah situasi di sini, seperti layaknya jalan di Turki. Tapi banyak juga pelanggan Jerman yang datang. Sebetulnya di sini orang nggak perlu Bahasa Jerman, tapi kalau bisa, jelas lebih bagus. Yah Anda tahulah orang Turki. Orang-orang tua Turki kan datang ke sini hanya untuk bekerja. Mungkin dulu mereka ikut kursus Bahasa Jerman, tapi hanya beberapa bulan. Mereka sebetulnya punya kesempatan, tapi tidak menggunakannya dengan baik. Pemilik salon tempat saya kerja ini misalnya, dia menyesal kenapa tidak dari dulu belajar Bahasa Jerman. Sekarang sudah agak terlambat buat dia.“

Cetin Dag memelihara jenggot yang tertata rapi. Beberapa bagian dicat dengan warna pirang. Ia menyambut pelanggan yang baru datang dengan jabatan tangan, sementara Onur menyajikan teh hangat khas Turki untuk mereka.

"Para tetangga dan kami hidup bersama seperti sebuah keluarga besar. Setiap orang di jalan ini saling mengenal satu sama lain. Kalau ada yang butuh bantuan, dia tahu bahwa pertolongan bisa diharapkan dari setiap orang di sini.“ Ungkap Onur.

Tidak setiap penghuni berpandangan begitu. Para pemilik toko Jerman di Weidengasse tak mau jawabannya direkam, saat ditanya apa pendapatnya tentang hidup bersama antarbudaya. Mereka merasa, para pelanggan Jerman enggan datang karena takut akan suasana Turki yang kuat mewarnai jalan itu. Sejak tahun 70-an, kebanyakan toko di Weidengasse dimiliki oleh mantan pekerja tamu dan keluarga mereka. Hampir setiap rumah membuka toko atau tempat usaha.

Buah-buahan dan syauran yang dipajang di depan supermarket AnkaraFoto: Tamara Himmel

Di seberang salon Ankara berdiri supermarket dengan nama sama. Suasananya mengisyaratkan akhir pekan segera tiba. Di Jerman, toko-toko tutup pada hari Minggu. Jadi, orang biasanya berbelanja ekstra pada hari Jumat atau Sabtu. Para pembeli memadati gang-gang sempit di dalam supermarket. Seperti kereta api mereka beriringan dari rak-rak sayur di bagian depan, ke deretan daging di bagian belakang. Lima pria dalam baju kerja warna putih, seperti petugas di laboratorium, berjejer di balik meja panjang. Mereka berupaya secepat mungkin melayani permintaan pembeli. Mulai mulai dari daging cincang, iga kambing hingga hati dan rempela ayam, tersedia di sini. Juga jenis yang hampir tak mungkin didapati di supermarket Jerman seperti kikil, babat, atau testis kambing.

Banyak orang Jerman datang ke sini untuk membeli buah segar, sayur dan daging. Tapi, produk khas Turki juga menjadi salah satu alasan mengapa mereka berbelanja di Weidengasse.

Di tempat lain, lamat-lamat terdengar alunan musik dan semilir aroma dupa. Di langit-langit sebuah toko, tergantung berbagai lentera dari Timur Tengah. Ada juga lampu mosaik, terbuat dari potongan kaca aneka warna. Soha, si pemilik toko, tengah meyakinkan seorang calon pembeli akan kualitas barang jualannya.

Soha menyebut bisnisnya toko aneka budaya, multikulti. Ia menyebut diri sebagai orang yang toleran. Di sebelah Nazar, 'mata biru' yang menurut kepercayaan rakyat Turki melindungi dari pandangan jahat, berdiri sebuah salib. Di sampingnya ada asbak berbentuk falus. Pajangan ini kerap mendatangkan kritik bagi Soha.

"Kan ada pepatah 'lain lubuk lain ikannya'. Itu biasa. Ibarat lampu mosaik dari kaca beraneka warna. Beragam tapi satu. Justru terlihat sangat bagus kan? Nah begitu juga dengan agama. Kristen, Islam, Budha, berbeda-beda, tapi kita harus bisa hidup berdampingan. Saya pikir itu sangat menarik dan sangat baik.“ Soha membeikan alasan.

Itulah sekilas potret keseharian di Weidengasse. Seruas jalan kecil yang kerap disebut sebagai miniatur kehidupan antarbudaya di kota Köln, dengan segala keunikan dan persoalannya.

Tamara Himmel/Renata Permadi

Editor: Yuniman Farid