1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Wendelina Olin Menguatkan Perempuan Korban Kekerasan

Linda Trianita
22 Desember 2018

Wendelina Olin tak kenal lelah membantu perempuan dan anak korban kekerasan di Timor Tengah Utara. Pengalaman sebagai penyintas kasus kekerasan membuatnya lebih memahami mereka.

Wandelina Olin
Foto: tempo/ejc

Kasak-kusuk tentang kehamilan tetangganya, bocah kelas satu Sekolah Menengah Pertama, terdengar ke telinga Wendelina Olin pada April lalu. Sekretaris Paralegal Yabiku (Yayasan Amnaut Bife Kuan/Yayasan Peduli Perempuan) di Bijaepasu, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur ini lantas berupaya mendekati bocah tersebut untuk mengkonfirmasi kebenaran informasi yang beredar di masyarakat.

Wendy – sapaan Wendelina - awalnya bertanya kepada ibu si bocah dan mendapat jawaban bahwa anaknya sedang sakit. Namun Wendy dan anggota paralegal lainnya melihat perubahan tubuh si bocah yang memang seperti orang hamil. "Kami melakukan pendekatan, pelan-pelan, hingga akhirnya ia mau terbuka,” kata Wendy, beberapa waktu lalu.

Pengakuan hamil saja tidak cukup bagi Wendy dan paralegal lainnya. Mereka menanyakan siapa ayah dari jabang bayi yang saat itu berusia tujuh bulan. Namun si bocah hamil tetap bungkam sambil sesenggukan.

Dengan persuasi, Wendy akhirnya bisa menenangkannya hingga bocah itu menyebutkan nama orang yang telah membuatnya hamil. "Pelakunya ayahnya. Kami tentu kaget,” ujar perempuan  36 tahun itu.

Selama pendekatan ke si bocah, Wendy memang jarang melihat ayahnya. Sebab, sang ayah selalu berada di kebun yang jaraknya bisa sampai lima jam jalan kaki dari rumah mereka di Bijaepasu. Saat rumor kehamilan itu terungkap, si ayah bahkan sesumbar akan membunuh siapa saja yang mencampuri urusan keluarga mereka. "Kami akhirnya minta bantuan Polri untuk menangkap ayah bocah tersebut,” ujarnya.

Maraknya kasus seperti bocah tersebut yang membuat Wendy bertahan sebagai paralegal selama enam tahun terakhir.  Padahal ia tak pernah membayangkan dirinya menjadi paralegal untuk para perempuan dan anak korban kasus kekerasan.

Enam tahun lalu, ia bahkan tak tahu arti paralegal, apalagi tugasnya. Salah satu pengurus gereja sampai tiga kali mengajak Wendy untuk bergabung sebagai tim paralegal Yabiku  dan mengikuti pelatihan.

Saat pelatihan itulah Wendy baru mafhum bahwa paralegal bertugas untuk menjadi pendamping, sekaligus penasihat dalam proses penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, masalah gender dan perlindungan terhadap anak pada umumnya.

"Ternyata ini pekerjaan yang mulia. Jadi saya tekuni hingga kini,” kata Wendy yang sehari-hari adalah kepala dusun Bijaepasu dan sekretaris perkumpulan doa di gereja di daerahnya.

Meski sibuk dengan pekerjaan sebagai kepala dusun dan sekretaris perkumpulan jemaat gereja, Wendy tetap selalu siaga jika sewaktu-waktu ada kasus kekerasan yang membutuhkan uluran tangannya. Ia tahu betul rasanya menjadi korban kekerasan dan susahnya bangkit dari depresi berkepanjangangan. Ia sendiri adalah korban perkosaan oleh tetangganya sebelas tahun silam.

Kala itu, belum ada paralegal di Timor Tengah Utara. Setiap kasus kekerasan dalam rumah tangga atau kasus kekerasan seksual diserahkan kepada ketua adat atau kepala desa. Dalam penyelesaian adat tersebut, korban atau keluarga yang mengadu harus menyerahkan uang yang biasa disebut "uang meja” sebesar Rp 250 ribu sebelum kasus ditangani. Pihak korban juga harus menyerahkan setidaknya dua botol minuman tradisional yang mengandung alkohol,  Sopi.

Karena beratnya persyaratan itulah, banyak korban kekerasan enggan melaporkan kasus yang menimpanya. "Kalau ada uang penanggungan, sudah menjadi korban malah bertambah lagi bebannya,” ujar Wendy.

Dalam kasusnya sendiri, Wendy juga menyelesaikan dengan adat. Pelakunya waktu itu dihukum denda Rp 5 juta dan seekor sapi.

Menurut Wendy, awalnya pengurus adat keberatan dengan kegiatan paralegal ini. Namun ia terus melakukan pendekatan ke mereka dengan melibatkan beberapa pengurus adat sebagai paralegal. Kini penyelesaian lewat bantuan paralegal diterima masyarakat dan tetua adat. Tim paralegal juga kerap melakukan sosialisasi di sekolah-sekolah, gereja, dan acara desa mengenai kehadiran dan fungsi mereka.

Rata-rata, paralegal yang bergerak di Timor Tengah Utara awalnya bukanlah orang yang paham hukum, seperti Wendy. Mereka kebanyakan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan. Maka dari itu, Wendy dan relawan lainnya  mendapat pelatihan dari Yabiku untuk mendapatkan kemampuan pendampingan hukum.

Koordinator Yabiku Antonius Efi mengatakan, pendekatan paralegal digunakan karena tingginya angka kekerasan di dalam rumah tangga di Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Perempuan, dan Anak Kabupaten Timor Tengah Utara, terdapat 171 kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 2017. Sedangkan untuk tahun ini, hingga Juli lalu, jumlah kekerasan tercatat 24 kasus di mana yang paling dominan adalah kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan penelantaran.

Sementara itu, pendampingan terhadap korban sangat minim.  "Dengan paralegal ini, kami ingin mendekatkan pelayanan ke para korban,” kata Antonius.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Timor Tengah Utara Yosefina Onda mengatakan  salah satu penyebab tingginya kekerasan dalam rumah tangga adalah budaya belis.

Belis merupakan mahar yang diberikan keluarga laki-laki kepada keluarga wanita dalam suatu perkawinan. Biasanya berbentuk sarung adat dan hewan ternak seperti babi, sapi, kerbau, atau kambing. Jumlahnya cukup besar dan mahal sehingga terkadang membebani mempelai pria.

Tujuan awal dari belis ini adalah untuk memuliakan kaum perempuan. Namun pemahaman ini bergeser bahwa dengan memberi belis seolah berarti membeli seorang perempuan untuk dijadikan istri. Sehingga tak jarang laki-laki memperlakukan para istri seperti barang milik yang kerap berujung kekerasan dalam rumah tangga.

Faktor lain pemicu tingginya angka kekerasan adalah tingkat kemiskinan yang tinggi. Penduduk di Kabupaten Timor Tengah Utara mayoritas bermata pencaharian sebagai petani yang hasil tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga.  Hal tersebut membuat tingkat stres menjadi tinggi sehingga mendorong ketidakstabilan emosi yang memicu tindakan kekerasan oleh kepala keluarga. "Banyak juga salah satu orang tuanya bekerja di luar negeri karena kemiskinan tadi,” kata Yosefina.

Budaya minum sopi juga menjadi salah satu pemicu. Sopi dianggap sebagai minuman sakral yang dapat mempersatukan masyarakat. Namun kesakralan perlahan menghilang karena hampir saban hari mereka mengkonsumsi minuman beralkohol tersebut. Padahal konsumsi sopi berlebihan mengakibatkan ketidaksadaran diri seseorang dalam berperilaku. Dalam kondisi seperti itu, seseorang tidak bisa mengendalikan emosi dan berpikir secara logis sehingga sering memicu tindak kekerasan. Perempuan dan anak rentan menjadi korban.

Karena itu, Yosefina bersyukur dengan keberadaan paralegal Yabiku seperti Wendy. "Pendekatan dari paralegal yang sudah dikenal itu biasanya mempermudah korban untuk mau terbuka mengenai kasus yang dialaminya,” kata Yosefina.

Wendy pun merasa ringan menjalankan tugas-tugasnya. "Harapan saya, semoga angka kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin berkurang,” kata Wendy. 

***

Tulisan ini bagian dari Proyek Perempuan Tempo untuk merayakan 90 tahun Konggres Perempuan Indonesia pertama 22 Desember 1928, dengan dukungan dari European Journalism Centre.

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait