WHO: Empat dari Lima Remaja Seluruh Dunia Kurang Olahraga
29 November 2019
Lebih dari 80 persen remaja di seluruh dunia tidak melakukan olahraga harian setidaknya selama satu jam, demikian menurut sebuah studi lembaga kesehatan PBB, WHO.
Iklan
Studi yang dilakukan oleh WHO ini menemukan bahwa 81 persen remaja berusia antara 11 dan 17 tidak melakukan aktivitas fisik dengan intensitas ringan hingga sedang setidaknya satu jam sehari. Aktivitas yang dimaksud antara lain adalah berjalan, mengendarai sepeda, atau berolahraga.
"Empat dari setiap lima remaja tidak memetik nikmat dan manfaat kesehatan sosial, fisik, dan mental dari aktivitas fisik sehari-hari," kata Fiona Bull, seorang spesialis aktivitas dan kesehatan yang juga turut menulis laporan tersebut.
Laporan tentang tren global terkait aktivitas fisik remaja ini didasarkan pada data survei yang dikumpulkan dari 1,6 juta siswa di 146 negara dan wilayah antara tahun 2001 dan 2015.
Temuan ini meresahkan karena aktivitas fisik dikaitkan dengan fungsi jantung dan pernapasan yang lebih baik, serta meningkatnya kesehatan mental dan aktivitas kognitif yang berimplikasi pada pembelajaran siswa. Olahraga yang juga diiringi makanan sehat, dipandang oleh para ahli sebagai kunci untuk mengendalikan wabah obesitas yang terjadi di seluruh dunia.
'Revolusi elektronik'
Laporan, yang diterbitkan dalam jurnal Lancet Child & Adolescent Health ini tidak menyebutkan mengapa remaja sangat tidak aktif. Namun, rekan penulis studi ini memperkirakan adanya peran teknologi digital yang membuat banyak orang muda menghabiskan waktu di depan perangkat elektronik.
"Kita mengalami revolusi elektronik yang tampaknya telah mengubah pola pergerakan remaja dan mendorong mereka untuk duduk lebih banyak, menjadi kurang aktif, mengemudi lebih banyak, berjalan lebih sedikit, (dan) menjadi kurang aktif secara umum," ujar pakar penyakit gaya hidup dari WHO, Leanne Riley.
Anak Anda hobi jajan minuman bersoda? Bagi mereka mungkin terasa nikmat, manis dan menyegarkan. Tapi jika Anda sayang anak, sebaiknya hentikan kebiasaan itu. Simak efek mengerikan minuman soda pada anak-anak.
Foto: Colourbox/Monkey Business Images
1. Kandungan dalam soda menimbulkan kecanduan
Sifat candu pada soda berasal dari kandungan minuman itu, kafein misalnya. Studi menunjukkan kafein menimbulkan ketergantungan. Anak-anak tidak kebal terhadap ketergantungan ini. Kandungan gula menimbulkan efek serupa. Sementara soda dengan pemanis buatan sebenarnya mengelabui otak karena membuat peminumnya selalu ingin lagi.. Jika mengkonsumsinya berlebihan, sulit pula untuk berhenti.
Foto: Fotolia/ Nitr
2. Soda tidak ada gizinya
Soda tidak memberikan nutrisi yang sangat dibutuhkan tubuh kita. Sebaliknya, soda malah menekan nafsu makan. Mengkonsumsi soda dapat menyebabkan anak-anak hanya ingin makan sedikit dari yang mereka butuhkan untuk bahan bakar tubuh. Mereka yang sering minum soda bisa kekurangan vitamin A, kalsium, dan magnesium serta mineral penting lainnya.
Foto: Imago/Indiapicture
3. Soda merugikan otak anak-anak
Otak anak berkembang hingga mereka remaja. Ketika minum soda, mereka mengkonsumsi bahan kimia yang mengubah otak. MSG bersembunyi dalam asam sitrat soda dan penambah rasa buatan. Penelitian menunjukkan, excitotoxin dalam MSG merusak neuron di otak tikus. Tingginya tingkat excitotoxin bisa menjadi pemicu tumor otak, alzheimer dan parkinson, gangguan belajar dan perilaku.
Foto: Colourbox/R. Gusov
4. Soda merapuhkan tulang anak-anak
Minum soda dapat menguras kalsium yang sangat dibutuhkan tulang. Jika konsumsi fosfor dalam soda terlalu tinggi, bisa memicu turunnya kalsium sehingga kepadatan tulangpun terganggu. Kafein dalam soda juga mengganggu penyerapan kalsium pada tulang. Anak-anak yang kenyang minum soda, sulit mengkonsumsi susu atau minuman yang kaya kalsium lainnya, dalam jumlah yang dibutuhkan tubuh.
5. Soda menyebabkan gangguan perilaku
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku anak-anak peminum soda. Ini bisa dari kafein, gula, pewarna buatan, atau lonjakan gula darah. Menurut sebuah survei yang respondennya lebih dari 3000 ibu menunjukkan: anak-anak yang minum soda yang lebih agresif dan memiliki kesulitan untuk bisa fokus atau konsentrasi.
Foto: picture-alliance/Denkou Images
6. Soda menghancurkan gigi anak-anak
Gula maupun asam dalam soda tidak baik untuk gigi. Asam sitrat dan fosfor berlebihan bisa mengikis enamel gigi dan menyebabkan kerusakan. Berkombinasi dengan sifat adiktif soda, gigi yang sering terkena minuman berbahaya ini bisa mengalami erosi gigi.
Foto: luna/Fotolia.com
7. Soda bisa menyebabkan diabetes pada anak
Dalam sebuah percobaan, tikus di laboratorium diberi pemanis buatan: aspartam yang bisa ditemukan di soda diet. Hasilnya, ditemukan tanda awal dari sindrom metabolik dan diabetes tipe 2. Yang menakutkan, hanya minum soda sedikit pun tidak mengurangi risiko itu. 12 ons soda sehari dapat meningkatkan risiko diabetes tipe 2 hingga seebesar 22%.
Foto: Fotolia/Dmitry Lobanov
8. Soda memicu kelebihan berat badan
Sebuah studi yang dilakukan pada anak usia 3-5 tahun menunujukkan: konsumsi minuman manis bersoda secara signifikan meningkatkan kemungkinan obesitas. Bahkan memilih soda diet untuk menghindari gula tidak akan mencegah hal ini, karena aspartam meningkatkan hasrat besar akan gula, dimana otak terus memerintahkan agar tubuh mengkonsumsi lebih banyak gula.
Foto: AP/S. Aivazov
9. Soda dapat menyebabkan penyakit jantung
Satu botol/kaleng soda sehari dapat meningkatkan risiko kardiovaskular sebesar 61%. Mengingat soda bisa menimbulkan kecanduan, anak-anak yang mulai minum soda di usia dini cenderung mengkonsumsinya secara teratur. Mereka yang mengkonsumsinya sejak kecil lebih berisiko terkena sakit jantung. daripada seseorang yang mulai minum soda di usia dewasa.
Foto: Imago/UIG
10. Soda dapat menghambat pencernaan
Soda dan kafein bersifat menaikkan laju urinasi sehingga menyebabkan dehidrasi, terutama jika kebiasaan minum air tergantikan soda. Gula dan kafein dapat meningkatkan tingkat asam lambung yang mengarah ke sindrom iritasi usus. Apa alternatif pengganti soda? Air putih dan susu pilihan terbaik. jus buah tentu pilihan yang lebih baik daripada soda, tetapi tetaplah waspada terhadap kadar gulanya.
Faktor-faktor lain yang turut berkontribusi juga termasuk infrastruktur yang buruk dan ketidakamanan di beberapa negara. Secara global, studi ini menemukan tidak ada pola ketidakaktifan yang jelas berdasarkan tingkat pendapatan atau wilayah.
Persentase remaja yang masuk ke kategori ini yaitu 66 persen di Bangladesh hingga 94 persen di Korea Selatan. Negara-negara berpenghasilan tinggi di Asia Pasifik diketahui memiliki tingkat aktivitas fisik paling rendah.
"Kami menemukan prevalensi tinggi hampir di mana-mana," ujar pemimpin penulis penelitian, Regina Guthold, kepada wartawan.
Perbedaan berdasarkan gender
Studi ini juga menemukan perbedaan di antara jenis kelamin di seluruh dunia, yaitu 85 persen perempuan dan 78 persen laki-laki yang disurvei tidak dapat mencapai target latihan setiap harinya. Para remaja laki-laki di negara-negara yang lebih sejahtera di barat dan remaja perempuan di Asia Selatan mendapatkan latihan paling banyak bila dibandingkan dengan masing-masing gender.
Remaja perempuan di Bangladesh dan India termasuk di antara yang aktif mungkin karena "anak perempuan diharuskan membantu kegiatan dan pekerjaan rumah tangga di sekitar rumah," kata laporan itu.
Namun, secara keseluruhan, jumlah anak perempuan yang lebih aktif daripada anak laki-laki hanya ada di empat negara yaitu Afganistan, Samoa, Tonga, dan Zambia.
Ketidakaktifan anak perempuan tampaknya masih terkait dengan tradisi budaya yang cenderung menjaga anak perempuan di dalam rumah, serta masalah yang terkait keamanan jika anak perempuan berada di luar rumah.
Guthold juga menunjukkan bahwa "lebih banyak promosi aktivitas fisik yang ditujukan bagi anak laki-laki."