WHO: Masalah Kesehatan Mental Meningkat Tajam Selama Pandemi
17 Juni 2022
WHO merilis laporan yang menyatakan bahwa penyakit mental mengalami kenaikan di seluruh dunia akibat COVID-19 dan pembatasan. Anak muda, perempuan, dan mereka yang menderita sakit jiwa lebih mudah terpengaruh.
Iklan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada hari Jumat (17/06) meminta seluruh negara untuk berinvestasi lebih banyak dalam kesehatan mental, lantaran pandemi virus corona telah menyebabkan peningkatan tajam terhadap masalah mental di seluruh dunia.
Depresi dan kecemasan meningkat 25% pada tahun pertama pandemi virus corona, kata WHO dalam laporan World Mental Health. Hanya 2% dari anggaran kesehatan nasional dan kurang 1% dari semua bantuan kesehatan internasional digunakan untuk kesehatan mental, bunyi laporan tersebut.
"Semua angka ini sangat, sangat rendah," kata Mark van Ommeren dari unit kesehatan mental WHO dalam konferensi pers.
"Ketertarikan pada kesehatan mental saat ini berada pada titik tertinggi sepanjang masa. Namun, investasi dalam kesehatan mental belum meningkat. Laporan ini memberikan informasi kepada negara-negara tentang bagaimana menginvestasikan uang kesehatan mental mereka dengan lebih baik," katanya.
Cegah Kelelahan Mental Akibat Terus Bekerja dari Rumah Selama Pandemi Corona
Bekerja dari rumah dalam jangka waktu lama mengaburkan batas kehidupan profesional dan pribadi, serta berpotensi melelahkan mental. Berikut cara yang dapat dilakukan pekerja dan perusahaan dalam menjaga semangat.
Foto: picture-alliance/Newscom
Perlu dukungan organisasi pemberi kerja
Psikolog sosial dan ketua riset PP Himpunan Psikologi Indonesia, Juneman Abraham, mengatakan batas kehidupan di kantor dan rumah kian kabur. “Ini adalah kenyataan yang perlu dikelola organisasi. Karena itu, organisasi (kantor, tempat kerja) perlu menggeser pandangannya. Organisasi tidak dapat menganggap bahwa semua jam work from home merupakan “hak kantor”," ujar Juneman kepada DW Indonesia.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Wüstenhagen
Biarkan karyawan menghibur diri pada jam kerja
Organisasi tempat kerja dapat memberikan alokasi waktu khusus agar karyawan bisa menghibur diri pada jam bekerja dari rumah, misalnya membiarkan karyawan mengikuti webminar yang berkaitan dengan hobi seperti menyanyi, berolahraga, atau bermain. “Karyawan menjadi tidak mudah bosan, kelelahan, dan menjadi lebih produktif,” ujar Juneman. Ini akan memberikan efek positif bagi semua pihak.
Foto: picture-alliance/dpa themendienst/C. Klose
Pentingnya dukungan keluarga
Keluarga berperan besar sebagai sistem pendukung sosial bagi para karyawan yang harus bekerja dari rumah, misalnya dengan menampakkan sikap optimisme, harapan, doa, serta rasa syukur. Perlu ada pemaafan sewajarnya bila harus bekerja pada akhir pekan. Sebagai gantinya, pekerja dan keluarganya dapat berunding untuk mencapai kesepakatan yang bisa diterima oleh semua.
Foto: Imago/U. Grabowsky
Atur pemakaian sumber daya
Juneman juga mengingatkan agar "bermain cantik" supaya tenaga dan semangat para pekerja tidak cepat terbakar habis, atau bahkan stres, saat bekerja dari rumah dalam waktu lama. Perlu ada fleksibilitas cara berpikir bahwa aturan dan kebiasaan lama dari organisasi kantor masih bisa dinegosiasikan, asal dikomunikasikan dengan baik ke pimpinan.
“Sebenarnya yang perlu dikembangkan dalam diri individu pekerja work from home adalah perasaan bahwa pekerjaannya adalah panggilan hidup (calling)-nya,” ungkap Juneman. Calling terbukti efektif mengurangi perasaan terbebani tuntutan kerja. Organisasi juga bisa membantu dengan program pengembangan karyawan, seperti konseling daring, dan program bantuan untuk karyawan. (ae/vlz)
Foto: picture-alliance/dpa/T. Hase
5 foto1 | 5
Stigma tentang kesehatan mental
Generasi muda, perempuan, dan orang-orang yang sudah menderita masalah kesehatan mental lebih terpukul oleh COVID-19 dan pembatasan yang mengikutinya, kata Van Ommeren.
Bahkan sebelum pandemi, sekitar satu miliar orang atau satu dari 8 orang di seluruh dunia, hidup dengan masalah kesehatan mental pada tahun 2019. Mereka yang tinggal di zona konflik lebih terpengaruh, dengan satu dari lima di antaranya menderita masalah kesehatan mental.
Laporan tersebut juga mengatakan pelecehan seksual dan intimidasi saat kanak-kanak menjadi penyebab umum depresi. Ini juga menyoroti kesenjangan besar terhadap akses ke perawatan kesehatan antara negara-negara yang berbeda.
Sementara lebih dari 70% orang yang menderita psikosis menerima perawatan di negara-negara berpenghasilan tinggi, jumlahnya turun menjadi 12% di negara-negara berpenghasilan rendah, katanya.
Laporan itu menyerukan diakhirinya stigma yang melekat pada kesehatan mental. Dikatakan juga bahwa satu dari 20 upaya bunuh diri menyebabkan kematian, dan bunuh diri masih menyumbang lebih dari satu dari setiap 100 kematian di seluruh dunia.
Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa "kehidupan setiap orang menyentuh seseorang dengan kondisi kesehatan mental. Investasi untuk kesehatan mental adalah investasi untuk kehidupan dan masa depan yang lebih baik untuk semua."