WHO: Vaksinasi Bukan 'Solusi Ajaib' Tangani COVID-19
25 Oktober 2021
Negara-negara kaya harus berhenti serakah jika mereka ingin pandemi berakhir, kata Kepala Ilmuwan WHO Dr. Soumya Swaminathan. Berbagi vaksin, alat, dan perawatan adalah satu-satunya cara untuk menghentikan varian baru.
Berdasarkan data New York Times, sekitar 49,7% populasi dunia telah menerima setidaknya satu dosis vaksinFoto: Ying Tang/NurPhoto/picture alliance
Iklan
Dr Soumya Swaminathan, Kepala Ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mengatakan kepada DW pada Minggu (24/10), bahwa vaksinasi tidak cukup mengakhiri pandemi dan menyerukan kesetaraan vaksin serta berbagi alat medis dengan negara-negara miskin untuk mencegah penyebaran mutasi virus corona yang berkelanjutan.
Vaksin efektif, tetapi tidak 100%
"Vaksinasi hanyalah salah satu alat. Ini bukan solusi sederhana," katanya kepada DW. "Vaksin sangat efektif untuk melindungi dari penyakit parah... Namun, vaksin tidak 100% efektif melawan infeksi."
"Anda masih melihat negara-negara dengan tingkat vaksinasi tinggi, masih memiliki tingkat infeksi yang meningkat," jelas Swaminathan. "Dan semakin tinggi tingkat penularan, bahayanya adalah Anda menghasilkan varian baru, yang kemudian akan kembali dan menginfeksi orang-orang itu, bahkan jika Anda sudah divaksinasi. Benar-benar ada argumen ilmiah yang kuat yang harus dibuat untuk melanjutkan langkah-langkah lain hingga semua orang di seluruh dunia terlindungi."
Iklan
Tidak ada akhir pandemi tanpa kesetaraan vaksin
Swaminathan, yang juga seorang ahli HIV dan TBC, mengatakan virus corona telah membuat ketidaksetaraan global menjadi sangat terlihat dan menyebabkan apa yang disebutnya "pandemi jalur ganda."
"Ada satu bagian dunia di mana sebagian besar orang sekarang divaksinasi," katanya. "Kehidupan tampaknya kembali normal. Sayangnya, separuh dunia lainnya masih belum memiliki akses ke vaksin. Hanya kurang dari 2% orang di benua Afrika yang telah divaksinasi lengkap dan kehidupan normal masih jauh bagi mereka."
Swaminathan berpendapat, satu-satunya cara untuk mengakhiri pandemi untuk selamanya adalah dengan negara-negara kaya menunjukkan lebih banyak solidaritas: "(Penanganan pandemi) akan memakan waktu lebih lama kecuali dunia memutuskan untuk bersatu dalam solidaritas dan berbagi alat, vaksin, diagnostik, perawatan yang kita miliki saat ini, sehingga kita dapat menghentikan kematian. Masih ada lebih dari 40.000-45.000 orang meninggal setiap minggu di seluruh dunia karena COVID-19 dan itu harus dihentikan."
Vaksinasi COVID-19 Hingga ke Daerah Terpencil di Dunia
Tim medis menempuh perjalanan panjang dan sulit untuk memvaksinasi orang-orang di seluruh dunia. Pekerjaan itu membawa mereka melintasi pegunungan dan sungai, menaiki pesawat, perahu, bahkan juga berjalan kaki.
Foto: Tarso Sarraf/AFP
Mendaki gunung
Dibutuhkan fisik yang bugar bagi tenaga medis untuk memvaksinasi penduduk di daerah pegunungan di tenggara Turki. "Orang sering tinggal berdekatan dan infeksi bisa menyebar dengan cepat," kata Dr. Zeynep Eralp. Orang-orang di pegunungan tidak suka pergi ke rumah sakit, jadi "kita harus pergi ke mereka," tambahnya.
Foto: Bulent Kilic/AFP
Melintasi daerah bersalju
Banyak orang lanjut usia tidak dapat melakukan perjalanan ke pusat vaksinasi. Di Lembah Maira di Alpen Italia barat, dekat perbatasan dengan Prancis, dokter mendatangi rumah ke rumah untuk memberi suntikan COVID-19 kepada penduduk yang berusia lebih dari 80 tahun.
Foto: Marco Bertorello/AFP
Penerbangan ke daerah terpencil
Dengan membawa botol berisi beberapa dosis vaksin, perawat ini sedang dalam perjalanan ke Eagle, sebuah kota di Sungai Yukon di negara bagian Alaska, AS, daerah dengan penduduk kurang dari 100 orang. Masyarakat adat diprioritaskan dalam banyak program imunisasi.
Foto: Nathan Howard/REUTERS
Beberapa warga perlu diyakinkan
Setiap hari, Anselmo Tunubala keluar masuk pemukiman di pegunungan Kolombia barat daya untuk meyakinkan warga tentang pentingnya vaksinasi. Banyak warga meragukan vaksin dan cenderung mengandalkan pengobatan tradisional, serta bimbingan para pemuka agama.
Foto: Luis Robayo/AFP
Jalan kaki selama berjam-jam
Pria dan wanita dalam foto di atas berjalan hingga empat jam untuk mendapatkan suntikan vaksin COVID-19 di desa terpencil Nueva Colonia di Meksiko tengah. Mereka adalah penduduk asli Wixarika, atau lebih dikenal dengan nama Huichol.
Foto: Ulises Ruiz/AFP/Getty Images
Vaksinasi di sungai
Komunitas Nossa Senhora do Livramento di Rio Negro di Brasil hanya dapat dijangkau melalui sungai. "Cantik! Hampir tidak sakit," kata Olga Pimentel setelah disuntik vaksin. Dia tertawa dan berteriak "Viva o SUS!" - "panjang umur pelayanan kesehatan masyarakat Brasil!"
Foto: Michael Dantas/AFP
Hanya diterangi cahaya lilin
Presiden Brasil Jair Bolsonaro menentang vaksinasi COVID-19. Namun, di sisi lain kampanye itu telah berjalan. Penduduk asli keturunan budak Afrika, termasuk di antara yang kelompok pertama yang divaksinasi. Raimunda Nonata yang tinggal di daerah tanpa listrik, disuntik vaksin dibantu penerangan cahaya lilin.
Foto: Tarso Sarraf/AFP
Rela mendayung jauh
Setelah vaksinasi, seorang wanita tua dan putrinya mendayung menjauhi Bwama, pulau terbesar di Danau Bunyonyi di Uganda. Pemerintah negara Afrika tengah sedang mencoba untuk memasok daerah terpencil dengan vaksin COVID-19.
Foto: Patrick Onen/AP Photo/picture alliance
Medan yang berat
Perjalanan lain melintasi perairan tanpa perahu. Dalam perjalanan menuju desa Jari di Zimbabwe, tim medis harus melewati jalan yang tergenang air. Menurut badan kesehatan Uni Afrika, CDC Afrika, kurang dari 1% populasi di Zimbabwe telah divaksinasi penuh.
Foto: Tafadzwa Ufumeli/Getty Images
Dari rumah ke rumah
Banyak orang di Jepang tinggal di desa terpencil, seperti di Kitaaiki. Warga yang tidak bisa ke kota, dengan senang hati menyambut dokter dan tim medis di rumah mereka untuk mendapatkan suntikan vaksin COVID-19.
Foto: Kazuhiro Nogi/AFP
Barang yang sangat berharga
Indonesia meluncurkan kampanye vaksinasi pada Januari 2021. Di Banda Aceh, tim medis melakukan perjalanan menggunakan perahu ke pulau-pulau terpencil. Vaksin di dalam kotak pendingin merupakan barang yang sangat berharga sehingga perjalanan tim medis didampingi petugas keamanan.
Foto: Chaideer Mahyuddin/AFP
Tanpa masker dan tidak menjaga jarak
India menjadi negara terdampak parah pandemi COVID-19. Pada pertengahan Maret 2021, petugas medis mendatangi desa Bahakajari di Sungai Brahmaputra. Sekelompok wanita mendaftar untuk mendapatkan vaksin. Tidak ada yang memakai masker atau menjaga jarak aman. (ha/hp)
Foto: Anupam Nath/AP Photo/picture alliance
12 foto1 | 12
Persiapan menghadapi pandemi berikutnya
Dia meminta komunitas internasional untuk berinvestasi dalam kesiapsiagaan pandemi di masa depan untuk menghindari konsekuensi menghancurkan selama 20 bulan terakhir.
"Dunia perlu kembali memikirkan kesiapsiagaan pandemi," kata Swaminathan, seraya menambahkan bahwa ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh komunitas internasional. "Bagaimana kita benar-benar mempersiapkan diri untuk mencegah pandemi berikutnya? Dan jika itu tidak sepenuhnya mungkin, bagaimana kita mendeteksinya sejak dini? Bagaimana kita menanggapinya?"
Dia juga menunjukkan bahwa rencana pencegahan akan membutuhkan pendanaan dan diatur secara global dengan cara yang memungkinkan data dibagikan ke seluruh dunia.
Para pemimpin dunia harus menentukan bagaimana mereka akan mencegah pandemi lain, kata SwaminathanFoto: WHO/dpa/picture alliance
Bagaimana kondisi pandemi global saat ini?
Seperti yang dikatakan Swaminathan, beberapa negara, seperti Kanada, Cina, Denmark, dan Portugal, 75% populasinya telah divaksinasi penuh. Sementara kurang dari 5% penduduk di negara-negara lain, seperti Nigeria, Ethiopia, Suriah, dan Afganistan, yang telah divaksinasi dua dosis.
WHO belum menetapkan varian baru sebagai salah satu "perhatian khusus" sejak varian Delta yang sangat menular muncul musim semi lalu. Namun, apa yang disebut varian Delta plus telah membuat khawatir para dokter di Israel dan Jepang.
Sejumlah negara kaya dengan tingkat vaksinasi yang relatif tinggi telah menurunkan pembatasan terkait pandemi, dalam beberapa kasus meskipun jumlah infeksi meningkat, seperti Inggris yang mengabaikan sebagian besar mandat penggunaan masker di ruang publik. Denmark, di mana 76% populasinya telah divaksinasi penuh, juga membatalkan hampir semua tindakan yang dilakukan untuk mengekang COVID-19. (ha/pkp)