1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialEropa

WNI di Ukraina: "Rasa Cemas dan Takut Masih Ada"

23 Februari 2024

Perang di Ukraina sudah berlangsung selama dua tahun. Presiden Rusia Vladimir Putin makin percaya diri bakal menang perang. Ribuan nyawa dari dua belah pihak melayang. Bagaimana nasib WNI di sana?

Memilih bertahan di Kyiv
WNI di Kyiv, Pepi Utami Foto: privat

Presiden Rusia Vladimir Putin terus berusaha mengalahkan Ukraina dan mencaplok wilayah timur negara tetangganya. Ini terjadi setelah Moskow memulai serangan besar-besaran ke negara tetangganya itu dua tahun lalu. Memasuki tahun ketiga peperangan, masih ada Warga Negara Indonesia (WNI) di sana, Di antaranya Pepi Aprianti Utami. Kepada DW ia bercerita:

"Saya tinggal di Kyiv. Situasinya di sini cukup aman, seperti tidak ada halangan sama sekali untuk kembali bekerja, beraktivitas seperti sebelum perang. Namun, rasa cemas dan takut itu masih ada, karena setiap hari serangan udara dari Rusia itu masih ada.  

Jadi sirene serangan udara itu masih terus berbunyi, meskipun tidak ada secara langsung rudalnya sampai ke Kyiv, tapi ancaman itu selalu ada,”  demikian Pepi mengaktualisasi keadaannya kini. Dia tinggal bersama keluarganya di Ukraina.

"Berbeda dengan tahun sebelumnya, misalkan saat ada sirene berbunyi itu, saya periksa dari informasi resmi pemerintah Ukraina, bunyi ini artinya ap. Jadi kalau misalkan ada serangan drone, itu karena jarak tidaknya lama, saya di dalam rumah saja, yang penting di dalam ruangan dan menunggu sampai peringatan tersebut selesai,” tutur Pepi.

Selter dan tas darurat jadi andalan

"Dan, kalau misalkan peringatannya ada pesawat tempur lepas landas seperti itu, yang membawa rudal, yang ancamannya seperti itu, biasanya saya bersiap-siap untuk pergi ke selter. Karena ada kemungkinan itu akan ada serangan yang besar-besaran,” kata Pepi. 

"Pernah ada serangan ke Kyiv, yang serangan secara besar-besaran itu, enggak jauh lokasinya dari tempat saya tinggal itu terkena imbasnya. Untungnya saat itu saya mendapatkan informasi tersebut dari aplikasi milik pemerintah Ukraina. Sebelum itu terjadi saya sudah siap pergi ke selter saat itu. Dan ternyata benar, memang selama semalam itu Kyiv dibom secara besar-besaran,” tuturnya kepada DW lebih lanjut.

Ada tas darurat yang siap siaga ia bawa jika ada ancaman serangan. Namun isi tas itu berbeda dengan tas darurat yang dulu ia bawa-bawa saat serangan Rusia pada masa awal. Dulu tas darurat itu berisi barang-barang untuk relokasi ke luar kota, jadi lebih banyak isinya.  

"Kini kalau untuk pergi ke selter itu persiapannya paling seperti bawa selimut, terus kantong tidur, buku untuk membunuh kebosanan saat menunggu di selter.  Kalau waktu evakuasi ke luar kota itu, lebih banyak yang penting, seperti obat-obatan, misalnya.”

Di selter sudah disiapkan obat-obatan, makanan dan listrik. Warga yang mengungsi bisa memasak di sana. Meski disediakan pula matras untuk tidur, Pepi lebih suka membawa kantong tidur sendiri. 

Ia tak ingat lagi seberapa sering ke selter. Bukan hanya saat ada ancaman bahaya, jelasnya. "Misalkan saya ke selter itu, karena saya enggak bisa tidur di rumah.  Jadi, misalkan ada serangan udara kalau tengah malam, misalkan keluarga kami, kalau ada serangan udara seperti itu, salah satu dari kita harus bangun, jangan tidur.  Sedangkan waktu itu saya dan suami harus kerja besoknya, jadi harus istirahat, sudah begadang malam sebelumnya. Karena kami ingin tidur dengan istilahnya enggak ada rasa cemas saat tidur, kita pergi ke selter untuk tidur, " demikian tutur Pepi.

Di dekat rumahnya  ada selter sudah disiapkan untuk penduduk sekitar. "Jadi, kita kalau mau istirahat di sana, datang ke sana malam-malam. Atau, kalau misalkan kita lagi di daerah yang jauh dari rumah kita, misalkan lagi di supermarket atau di mal, kita masuk ke selter yang hanya bisa duduk saja, enggak bisa istirahat, cuma duduk dan menunggu,” ujar Pepi.

Selter yang di dekat rumah Pepi berada di bawah tanah klinik kecil. "Jadi ada basement tapi bukan untuk tempat parkir, jadi seperti bangunan rumah sakit, tapi dia ada lantai bawahnya.  

Kita waktu awal invasi sudah disediakan oleh pemerintah Ukraina seperti matras, terus barang esensial lainnya, sudah dibangun seperti untuk tempat untuk berlindung,” jelasnya. 

Memilih bertahan

Jika tiada ancaman yang mengharuskannya pergi dari Ukraina, Pepi memilih bertahan di negara yang berkecamuk perang itu. "Saat invasi, saya harus evakuasi, pergi dari rumah. Nah, tahun kedua ini saya bisa pulang ke rumah, bisa tinggal lagi di rumah sendiri dan juga bisa bekerja lagi." 

Untuk kepikiran, untuk saya harus pergi dari Ukraina itu, saya enggak ketemu alasan kenapa saya harus pergi dari Ukraina. Waktu saya memutuskan untuk kembali ke Kyiv, itu karena saya mengikuti berita, bahwa di Kyiv itu sekarang tentara Rusia sudah enggak ada, " paparnya.

"Memang sih, saya enggak bisa memastikan kapan orang itu 100% merasa aman di Kyiv. Namun, kalau saya secara pribadi dengan mengikuti imbauan dari pemerintah dan juga mencari tahu tentang informasi di Ukraina,  juga tentang pengetahuan-pengetahuan untuk bertahan hidup seperti itu, buat saya lebih memberikan rasa aman,” pungkas Pepi. (ap/hp)