1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiIndonesia

Tertundanya Konferensi WTO dan Perkara Subsidi Nelayan Kecil

Kusumasari Ayuningtyas
8 Desember 2021

Penundaan konferensi tingkat menteri WTO menimbulkan kekhawatiran akan adanya pengajuan poin tambahan yang berpotensi memberatkan nelayan kecil di negara berkembang.

Nelayan di Pekalongan, Jawa Tengah
Sekitar 90% nelayan Indonesia adalah nelayan tradisional dan skala kecilFoto: Dadang Trimulyanto/Zuma/picture alliance

Konferensi tingkat menteri (MC12) negara-negara anggota Badan Perdagangan Dunia atau WTO yang sedianya diadakan 30 November hingga 3 Desember ditunda akibat munculnya varian baru virus corona, Omicron.

Pertemuan yang rencananya membahas reformasi di bidang perdagangan dan perindustrian ini sebelumnya telah dinantikan para pakar kelautan untuk menentukan kebijakan baru tentang perikanan tangkap di seluruh dunia.

Seperti dikutip dari laman WTO, sekitar 400 ilmuwan dari 46 negara dalam sebuah surat terbuka meminta WTO agar segera merampungkan negosiasi yang telah berlangsung dalam waktu lama untuk mencegah menipisnya stok ikan dan keanekaragaman hayati di laut.

Surat yang diterbitkan di Majalah Science ini menguraikan poin yang seharusnya dicapai dalam perjanjian prospektif WTO, seperti melarang pemberian subsidi bahan bakar dan konstruksi kapal yang dapat membantu penangkapan ikan di perairan lepas pantai. Para ahli khawatir bahwa pemberian insentif tertentu dapat berkontribusi atas kian parahnya penangkapan ikan berlebih atau overfishing. 

Sebelumnya, di bawah mandat Konferensi Tingkat Menteri ke-11 WTO yang diadakan di Buenos Aires pada tahun 2017, para negosiator telah mendapat tugas untuk mengamankan kesepakatan untuk menghapus subsidi yang dinilai berkontribusi atas penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau UII Fishing.

Perdebatan tentang subsidi perikanan bagi nelayan kecil

Penundaan konferensi tidak pelak menimbulkan kekecewaan dan kekhawatiran dari sejumlah lembaga nonpemerintah. Mereka khawatir akan adanya pengajuan poin tambahan oleh negara-negara maju yang dinilai berpotensi memberatkan nelayan kecil di negara berkembang.

Adam Wolfenden dari Pacific Network on Globalisation (PANG), organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang sosial dan ekonomi yang berbasis di Fiji, menyoroti persoalan penghapusan subsidi perikanan oleh negara-negara anggota WTO. 

Kekhawatiran Wolfenden utamanya tentang proposal yang berisi tentang data-data stok ikan dan juga akses perjanjian yang saat ini sedang dinegosiasikan. Ia menilai, bahwa nelayan-nelayan kecil ini saat ini tidak bertanggung jawab atas merosotnya stok ikan global. Selain itu ia juga berpendapat bahwa para nelayan skala kecil tidak terlindungi secara memadai dalam negosiasi ini.

"Ini menjadi kesempatan bagi negara-negara berkembang untuk menuntut hak-hak nelayan-nelayan kecil agar lebih terlibat dalam pembangunan," ujar Wolfenden dalam sebuah diskusi daring yang diselenggarakan oleh Indonesia for Global Justice (IGJ) bersama Jaringan International Our World Is Not For Sale, Jumat (03/12).

Indonesia punya ruang bagi kebijakannya

Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia punya ruang kebijakan yang tetap memungkinkan bagi pemberian subsidi untuk nelayan kecil.

"Bagaimana pemerintah Indonesia bisa menjamin bahwa subsidi yang dibutuhkan oleh nelayan kecil Indonesia itu tetap bisa diberikan, dan pemerintah punya policy space yang memungkinkan untuk tetap memberikan subsidi perikanan yang dibutuhkan oleh nelayan," ujar Rachmi Hertanti.

Ia mencontohkan bahwa subsidi bahan bakar minyak (BBM) saat ini menjadi kebutuhan terbesar bagi nelayan kecil di Indonesia. Hal ini mengingat sebagian besar ongkos produksi perikanan tangkap di perairan laut dihabiskan untuk membeli BBM. 

Namun ia mempertanyakan apakah pemerintah bisa menjamin untuk tetap memberikan subsidi hingga beberapa tahun ke depan. "Ataukah justru BBM ini diklasifikasikan sebagai subsidi yang berkontribusi pada kerusakan lingkungan dan perubahan iklim?"

Karena itu, menurutnya, pemerintah perlu memastikan berapa batas maksimal jumlah tangkapan yang dianggap layak agar nelayan kecil tidak kehilangan haknya terhadap subsidi.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), jumlah nelayan tradisional atau nelayan skala kecil di Indonesia mencapai lebih dari 90% dari total seluruh pelaku perikanan nasional atau sebanyak 2,24 juta nelayan. IGJ pun menyarankan agar negosisasi subsidi perikanan dengan WTO harus diarahkan untuk melindungi hak nelayan kecil dan tradisional Indonesia.

Kekhawatiran akan agenda tambahan

Kinda Mohammadieh penasihat hukum dan peneliti senior dari Third World Network di Jenewa, Swiss, mengungkapkan kekhawatiran terhadap adanya agenda-agenda yang mungkin dimasukkan ke dalam WTO selama masa penundaan ini. Menurutnya, narasi-narasi baru yang diajukan bisa membatasi fleksibilitas.

Negara-negara berkembang, ujarnya, telah memberikan respon tentang implementasi terkait isu-isu seperti perdagangan, industri, tarif serta tantangan yang mereka hadapi dalam menerapkan perjanjian terkait. Sedangkan desakan dari negara-negara maju kemungkinan akan berfokus pada aturan subsidi industri.

"Kita harus memeriksa isi pembahasan WTO Reform sebagai desakan untuk negara-negara maju sesuai dengan mandat organisasi yang kita miliki," ujar Kinda Mohammadieh. Menurutnya, beberapa isu baru yang ingin dimasukkan dalam agenda WTO oleh negara-negara maju antara lain tentang aturan untuk subsidi industri dan isu mekanisme pemantauan atau monitoring. (ae)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait