Bercermin dari Pilkada 2017, wajah demokrasi kita masih diwarnai pencitraan hitam mengandalkan simbol agama dan pengidolaan buta. Massa mengambang masih menguasai demokrasi. Berikut opini Geger Riyanto.
Iklan
Mungkin jari Anda tengah galau harus menuding ke mana. Apakah SBY, sang ayah, terlalu banyak ikut campur? Apakah gesture Agus dalam debat terlampau muluk-muluk dan tak meyakinkan? Apakah pertaruhan Anies mendekati kelompok garis keras—dan meremas portofolio tenun kebangsaannya sendiri—menuai hasil? Apakah yang perlu dilakukan Ahok selama ini sebenarnya cukup menjaga mulutnya?
Satu hal yang pasti. Peralihan tak terduga di tikungan akhir Pilkada Jakarta putaran pertama mengacaukan begitu banyak perhitungan politik yang sudah dibentangkan para elit dengan percaya diri maupun kecil hati. Mereka yang sebelumnya sudah meyakini kandidat nomor satu akan memenangkan pertarungan mencari-cari kambing hitam. Mereka yang kebetulan berada di pihak penangguk mujur mencoba mengklaim perayunan mendadak ini, tak lepas dari jasa mereka.
Dan di antara ketidakterdugaan ini, ada satu yang tetap terduga sebenarnya. Ada satu pihak yang tetap bisa Anda tuding sebagai pemantik segenap kesimpangsiuran ini: massa mengambang. Massa mengambang, faktanya, masih menguasai demokrasi di Indonesia. Dan satu resep klasik, ternyata, masih berjaya: siapa yang meraih mereka, memenangkan pemilihan.
Menggerakkan Massa Mengambang
Di provinsi lain, hal serupa pun terjadi. Di Jakarta, menurut jajak pendapat Litbang Kompas, 30-40 persen pemilih Anies Baswedan baru menetapkan untuk memilihnya pada seminggu terakhir. Di Banten, elektabilitas pasangan petahana, Rano Karno-Embay, pada akhir Desember 2016 masih unggul 15 persen di atas penantang terdekatnya. Keunggulan tersebut dihapus hanya dalam jeda satu setengah bulan. Pasangan Wahidin-Andika, sang penantang, menurut beberapa lembaga hitung cepat, meraup suara di atas lima puluh persen dan mengungguli petahana.
Kita akan kesulitan memahaminya, memang, apabila kita membayangkan demokrasi merupakan arsitektur cerdas ditopang para warga negara yang secara rasional memilih pemimpin yang paling mampu mengejewantahkan kepentingannya. Sayangnya, kita tak hidup dalam semesta yang demikian. Bila benar kita hidup dalam sistem semacam itu, dengan cara apa kita meyakinkan lebih dari satu juta orang yang tak mempermasalahkan kebijakan gubernur petahana untuk berpindah haluan dalam beberapa minggu belaka?
Pada konteks Indonesia setidaknya, kenyataannya, kita berhadapan dengan satu sistem yang volatil. Apa yang menggulirkannya adalah campur aduk tak karuan berbagai sentimen yang lebih sering tak berdasar.
7 Fakta Pilkada 2017
Pilkada Jakarta menjadi salah satu pertempuran politik panas dalam era demokratisasi di tanah air. Pertarungan untuk memimpin kota berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa itu memicu ketegangan politik.
Gubernur petahana ini mengambil alih kepemimpinan Jakarta tahun 2014, setelah Joko Widodo memenangkan kursi kepresidenan.Di era reformasi, ia jadi gubernur Jakarta pertama beretnis Cina-beragama Kristen. Saat proses Pilkada berjalan, ia tersandung kasus dugaan penistaan agama. Komitmen Ahok termasuk penganggulangan banjir kronis, mengatasi kemacetan lalu lintas & meningkatkan kinerja birokrasi.
Foto: Reuters/Antara Foto/H. Mubarak
Dari militer ke politik: Agus H. Yudhoyono
Dia adalah putra tertua mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pensiun dari militer pada usia 38 tahun dan ingin menjadi gubernur. Dia didukung oleh Partai Demokrat dan beberapa partai-partai Islam. Kampanye Agus yang didampingi Sylviana Murni berfokus pada peningkatan kehidupan kaum miskin Jakarta dan berjanji menyokong dana tunai untuk keluarga berpenghasilan rendah.
Foto: Reuters/Antara Foto/R. Esnir
Calon akademisi: Anies Baswedan
Baswedan, 47, adalah mantan menteri pendidikan di pemerintah Joko Widodo.Dia didukung oleh Gerindra, partai yang dipimpin Prabowo Subianto. Kampanye Anies Baswedan dan pasangannya pengusaha Sandiaga Uno berfokus pada peningkatan pendidikan publik dan memerangi tingginya biaya hidup di ibukota.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Agung Rajasa
Proses voting di Jakarta
Hasil resmi pemungutan suara diperkirakan akan diumumkan 08-10 April 2017. Jika tidak ada kandidat mencapai suara mayoritas di babak pertama, maka dua kandidat yang mengamankan suara terbanyak akan kembali bersaing di putaran kedua. Kandidat yang tidak puas dengan hasil pemilu dapat membawa sengketa hasil pemungutan suara ke Mahkamah Konstitusi.
Foto: Reuters
Situasi khusus
Jika Ahok memenangkan pemilihan di Jakarta tapi divonis bersalah di pengadilan untuk kasus hukum dugaaan penistaan agama, maka ia masih diperbolehkan tetap menjabat sebagai gubernur selama proses banding masih berlangsung.
Foto: picture alliance / dpa
Fokus KPU: ancaman keras bagi politik uang
Dalam UU Pilkada diatur: "Setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada WNI untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, gunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara jadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu diancam penjara antara 36-72 bulan dan denda Rp.200 juta- 1 milyar.
Foto: Reuters
Bukan hanya di Jakarta
7,1 juta orang terdaftar untuk memilih di Jakarta. Namun, pilkada bukan hanya diadakan di Jakarta. Pilkada serentak diikuti 101 daerah yang tersebar di 31 provinsi. Tujuh provinsi termasuk Jakarta akan memilih gubernur. Di 31 provinsi berlangsung pemilihan walikota dan bupati. Ed: ap/yf (rtr/kpu)
Foto: picture-alliance/dpa
7 foto1 | 7
Seberapa sering hari-hari ini kita harus mengingatkan keluarga dan kerabat agar tak menyebarkan kabar-kabar provokatif tak masuk akal dan, hanya karena melakukannya, kita dituding pendukung kandidat tertentu? Seberapa sering kita sekadar mengkritik satu kandidat di antara komunitas sepergaulan dan yang terjadi kita diputuskan dari lingkaran bersangkutan?
Saya dapat menjamin, ini bukan satu-dua kasus. Ini adalah wajah dari demokrasi kita. Kasak-kusuk, prasangka, ketakutan—hal-hal inilah yang kenyataannya menjadikannya berjalan.
Tetapi, tak semua berayun tanpa arah dalam Pilkada tempo hari. Kita harus sadar bahwa orang-orang berkepentingan pun menemukan cara untuk mengendalikan emosi yang rentan terombang-ambing ini ke arah yang mereka kehendaki. Bila Anda tak bisa menaklukkan ketakutan tak berdasar orang-orang, mengapa tidak justru memanfaatkannya? Bila Anda tak bisa menghentikan hoaks, bukankah lebih produktif untuk menungganginya?
Akhirnya, kita menemukan kegamangan, pengultusan yang tak jarang dibumbui dengan narasi hari akhir berkembang sangat marak setiap kali perhelatan demokrasi mendekat. Betapapun "massa mengambang” bisa berpindah dari satu kandidat pejabat ke kandidat pejabat lain, mereka toh tak akan berpindah ke kandidat pejabat yang dikabarkan tak bermoral atau tak beragama. Dan betapapun "massa mengambang” bisa mengalihkan pilihan mereka karena selera subjektif—karena satu kandidat lebih tampan dibandingkan yang lain, katakanlah—mereka tak akan memilih kandidat yang berarti akhir dunia bagi mereka.
Dapatkah Anda menyalahkan Orde Baru karena memulai semua ini dengan menjadikan masyarakat kita apolitis? Tentu. Tetapi, Anda pun harus menyalahkan juga mereka yang melestarikannya dengan terus-menerus memanfaatkannya.
Memilih Pemimpin Jakarta
Tiada hari tanpa pemberitaan ‘panasnya pilkada Jakarta 2017‘. Berbagai pergolakan politik mewarnai proses pemilihan orang nomor satu di ibukota negara ini. Inilah serba-serbi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. Husni
Tiga paslon Gubernur DKI Jakarta
Tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dalam pilkada DKI Jakarta 2017: Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dengan nomor urut 1, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat mendapat nomor urut 2. Adapun Anies Baswedan-Sandiaga Uno nomor urut 3.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. Husni
Demi Jakarta yang lebih baik
Ketiga kandidat menunjukkan bahwa mereka ingin menjadikan ibukota negara menjadi kota yang nyaman dan aman bagi semua penduduknya, serta bebas dari masalah yang selama ini menghantui: banjir, macet, dll. Pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan penduduk juga jadi tolak ukur.
Foto: Roxana Duerr
Penuh pertikaian dalam pertarungan
Namun, pertarungan dalam memilih pemimpin DKI Jakarta 2017 penuh dengan perseteruan. Aksi saling gempur buzzer yang kadang mengarah pada kampanye hitam, peredaran berita bohong, saling tuding dan berbagai kekisruhan lainnya. Hiruk pikuk jelang pemilihan kepala daerah itu seolah menenggelamkan seratusan wilayah lainnya yang juga akan menggelar pilkada pada tahun 2017.
Foto: Reuters/K. Pempel
Kepentingan siapa?
Kubu petahana bertarung dengan kubu lainnya, Dalam politik, memang ada prinsip tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang ada adalah kepentingan. Namun benarkah kepentingan ini adalah kepentingan rakyat?
Foto: AFP/Getty Images/Bay Ismoyo
Calon kontroversial
Jelang pilkada, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang merupakan keturunan Tionghoa dan bukan Muslim, tersandung kasus dugaan penistaan agama. Proses hukum terus berlangsung hingga pilkada digelar. Iapun banyak dikritik atas kasus penggusuran.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Demonstrasi besar
Aksi demonstrasi besar sehubungan dengan kasus dugaan penistaan agama, berlangsung pada akhir tahun 2016 di Jakarta dalam aksi yang disebut #412 dan #212. Para pemrotes yang ingin agar Ahok ditangkap, bukan hanya datang dari Jakarta, namun juga wilayah-wilayah lain.
Foto: picture-alliance/AP Photo/T. Syuflana
Calon putra mantan penguasa
Agus Harimurti Yudhoyono dikenal sebagai perwira muda cemerlang. Kakek dan ayahnya, Presiden Susilo Bambang Yudoyono-- jenderal yang sangat terkenal. Pilihan Agus untuk pensiun dini adalah proses politik yang masih terus bergulir. Namun dukungan ayahnya, kerap malah jadi ‘bumerang‘ dalam pencalonan Agus. Masyarakat masih harus menunggu bagaimana performa Agus di medan politik.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mantan menteri yang kontroversial
Anies Baswedan membawa karakter-karakter kebalikan dari petahana. Mantan menteri pendidikan dan wakilnya Sandiaga Uno, mengaku banyak menemui tokoh nasional di selama masa kampanye. Namun pertemuan pria yang dulu dikenal amat moderat dengan Front Pembela Islam (FPI) memicu kekecewaan sebagian kalangan. Debat paslon memberi ruang bagi publik melihat kualitas calon yang mereka pilih.
Foto: Reuters/M. Agung Rajasa
Perang hukum dan medsos
Berkaitan dengan situasi jelang Pilkada DKI, perang hukum diwarnai aksi saling lapor ke kepolisian. Mulai dari laporan terhadap Ahok atas dugaan penistaan agama diikuti laporan terhadap ketua FPI, Rizieq Shibab untuk pelbagai kasus. Sementara itu, medsos pun ramai berkomentar setiap kali isu Pilkada mengemuka, apalagi jika menyangkut FPI yang dikenal berseberangan dan paslon petahana. (ap)
Foto: picture-alliance/dpa/B.Indahono
9 foto1 | 9
Preseden Masa Depan
Tentu saja, situasi ini tak mengenakkan untuk para politisi. Ini berarti mereka harus bersiap dengan segala kemungkinan sampai dengan detik terakhir. Tak pernah ada hari tenang—apalagi minggu tenang—untuk mereka. Sekali isu keyakinan berhasil menjegal mereka, apa yang mereka bangun untuk waktu yang lama dapat terlucuti dalam sekejap. Namun, ini belumlah konsekuensi terburuknya.
Apa yang akan terjadi adalah ini menyediakan preseden ke pemilihan-pemilihan di masa mendatang bahwa pencitraan hitam dengan mengandalkan simbol agama, pengidolaan buta selalu siap dipergunakan untuk mengerek reputasi satu kandidat dan menjatuhkan yang lainnya. Para pejabat selama ini terbiasa mempergunakan dalih-dalih moralitas instan untuk membangun popularitasnya. Suka atau tidak suka, semua isyarat memperlihatkan ia masih akan berlangsung sampai dengan masa mendatang yang belum bisa kita lihat kapan akhirnya, dan ajang pembuktian terdekatnya tak lain dari putaran kedua Pilkada Jakarta.
Dan siapa yang tertawa terakhir? Sayangnya, bukan kita. Bukan kita yang tak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk mengangkat dan menggugat pejabat berdasarkan komitmen konkretnya.
Penulis:
Geger Riyanto (ap/rzn)
Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Pat Gulipat ala Rizieq Shihab
Rizieq Shihab yang dulu gemar beradu otot dengan penguasa kini menjadi primadona politik jelang Pilkada. Tapi meski kian berpengaruh, sepak terjangnya kerap membuat gaduh. Kini Rizieq kembali digoyang.
Foto: Getty Images/Adek Berry
Pelarian Terakhir
Sejak 2014 Rizieq Shihab menjadi pelarian terakhir buat calon pejabat tinggi yang kekurangan suara buat memenangkan pemilu. Saat itu Front Pembela Islam (FPI) didekati duet Prabowo dan Hatta hanya sebulan menjelang pemilihan umum kepresidenan. Kini pun Rizieq kembali dirayu dua pasangan calon gubernur DKI yang butuh dukungan buat menggusur Basuki Tjahaja Purnama.
Foto: picture-alliance/dpa/B.Indahono
Tolak Perempuan
Rekam jejak politik FPI sudah berawal sejak era Megawati. Dulu Rizieq menggalang kampanye anti pemimpin perempuan. Saat itu organisasi bentukannya mulai mendulang dukungan lewat aksi-aksi nekat seperti menggerudug lokasi hiburan malam. Namun di tengah popularitasnya yang meluap, Rizieq dijebloskan ke penjara karena menghina Sukarno dan Pancasila.
Foto: Adek Berry/AFP/Getty Images
Tanpa Daya Pikat
Sebulan menjelang pemilihan presiden pertama 2009, FPI mendeklarasikan dukungan buat Jusuf Kalla dan Wiranto. Serupa 2014, saat itu pun deklarasi dukungan oleh Rizieq gagal mendatangkan jumlah suara yang diharapkan. Pengamat sepakat, ormas agama serupa FPI belum memiliki daya pikat untuk menyihir pemilih muslim.
Foto: picture-alliance/dpa
Perang di Jakarta
Namun roda nasib berbalik arah buat Rizieq. Sejak 2013, dia telah menggalang kampanye menentang Gubernur Petahana Basuki Tjahaja Purnama lantaran tidak beragama Islam. Puncaknya pada 14 Oktober 2014 FPI menggalang aksi demonstrasi sejuta umat. Namun yang datang cuma ribuan orang. Pilkada DKI Jakarta 2016 akhirnya menawarkan panggung buat FPI untuk kembali menanamkan pengaruh.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Kampanye Anti Gubernur Kafir
Pidato Ahok yang mengritik politisasi Al-Quran untuk pemilihan umum dan pilkada menjadi umpan buat FPI. Bersama GNPF-MUI, Rizieq menyeret Ahok ke pengadilan dengan dakwaan penistaan agama. Ia pun menggelar aksi protes melawan Ahok yang kali ini mengundang ratusan ribu umat Muslim dari seluruh Indoensia. Manuver tersebut coba dimanfaatkan pasangan calon lain untuk menggembosi dukungan terhadap Ahok
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Koalisi Oposisi
Rizieq lagi-lagi naik daun. Ia pun didekati Agus Yudhoyono dan Anies Baswedan yang membutuhkan suara tambahan buat memenangkan pilkada. Untuk pertamakalinya FPI berpeluang memenangkan salah satu calon untuk merebut kursi strategis. Tapi serupa 2003, kali ini pun sepak terjang Rizieq di arena politik mendatangkan lawan yang tak kalah garang.
Foto: AFP/Getty Images
Pertaruhan Terakhir
Saat posisinya melambung, Rizieq Shihab terancam kembali diseret ke penjara dengan berbagai dakwaan, antara lain penghinaan simbol negara dan pornografi. Tapi sang Habib tidak tinggal diam dan memilih melancarkan serangan balik kepada Ahok, seakan nasibnya ditentukan pada hasil Pilkada DKI. Pertaruhan Rizieq menyimpan risiko tinggi. Namun jika berhasil, maka kuasa adalah imbalannya.