1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Yang Mengambang dan Berayun dalam Pilkada

20 Februari 2017

Bercermin dari Pilkada 2017, wajah demokrasi kita masih diwarnai pencitraan hitam mengandalkan simbol agama dan pengidolaan buta. Massa mengambang masih menguasai demokrasi. Berikut opini Geger Riyanto.

Indonesien Wahlen Jakarta
Foto: picture alliance/NurPhoto/D. Roszandi

Mungkin jari Anda tengah galau harus menuding ke mana. Apakah SBY, sang ayah, terlalu banyak ikut campur? Apakah gesture Agus dalam debat terlampau muluk-muluk dan tak meyakinkan? Apakah pertaruhan Anies mendekati kelompok garis keras—dan meremas portofolio tenun kebangsaannya sendiri—menuai hasil? Apakah yang perlu dilakukan Ahok selama ini sebenarnya cukup menjaga mulutnya?

Satu hal yang pasti. Peralihan tak terduga di tikungan akhir Pilkada Jakarta putaran pertama mengacaukan begitu banyak perhitungan politik yang sudah dibentangkan para elit dengan percaya diri maupun kecil hati. Mereka yang sebelumnya sudah meyakini kandidat nomor satu akan memenangkan pertarungan mencari-cari kambing hitam. Mereka yang kebetulan berada di pihak penangguk mujur mencoba mengklaim perayunan mendadak ini, tak lepas dari jasa mereka.

Dan di antara ketidakterdugaan ini, ada satu yang tetap terduga sebenarnya. Ada satu pihak yang tetap bisa Anda tuding sebagai pemantik segenap kesimpangsiuran ini: massa mengambang. Massa mengambang, faktanya, masih menguasai demokrasi di Indonesia. Dan satu resep klasik, ternyata, masih berjaya: siapa yang meraih mereka, memenangkan pemilihan.

Penulis: Geger RiyantoFoto: Privat

Menggerakkan Massa Mengambang

Di provinsi lain, hal serupa pun terjadi. Di Jakarta, menurut jajak pendapat Litbang Kompas, 30-40 persen pemilih Anies Baswedan baru menetapkan untuk memilihnya pada seminggu terakhir. Di Banten, elektabilitas pasangan petahana, Rano Karno-Embay, pada akhir Desember 2016 masih unggul 15 persen di atas penantang terdekatnya. Keunggulan tersebut dihapus hanya dalam jeda satu setengah bulan. Pasangan Wahidin-Andika, sang penantang, menurut beberapa lembaga hitung cepat, meraup suara di atas lima puluh persen dan mengungguli petahana.

Kita akan kesulitan memahaminya, memang, apabila kita membayangkan demokrasi merupakan arsitektur cerdas ditopang para warga negara yang secara rasional memilih pemimpin yang paling mampu mengejewantahkan kepentingannya. Sayangnya, kita tak hidup dalam semesta yang demikian. Bila benar kita hidup dalam sistem semacam itu, dengan cara apa kita meyakinkan lebih dari satu juta orang yang tak mempermasalahkan kebijakan gubernur petahana untuk berpindah haluan dalam beberapa minggu belaka?

Pada konteks Indonesia setidaknya, kenyataannya, kita berhadapan dengan satu sistem yang volatil. Apa yang menggulirkannya adalah campur aduk tak karuan berbagai sentimen yang lebih sering tak berdasar.

Seberapa sering hari-hari ini kita harus mengingatkan keluarga dan kerabat agar tak menyebarkan kabar-kabar provokatif tak masuk akal dan, hanya karena melakukannya, kita dituding pendukung kandidat tertentu? Seberapa sering kita sekadar mengkritik satu kandidat di antara komunitas sepergaulan dan yang terjadi kita diputuskan dari lingkaran bersangkutan?

Saya dapat menjamin, ini bukan satu-dua kasus. Ini adalah wajah dari demokrasi kita. Kasak-kusuk, prasangka, ketakutan—hal-hal inilah yang kenyataannya menjadikannya berjalan.

Tetapi, tak semua berayun tanpa arah dalam Pilkada tempo hari. Kita harus sadar bahwa orang-orang berkepentingan pun menemukan cara untuk mengendalikan emosi yang rentan terombang-ambing ini ke arah yang mereka kehendaki. Bila Anda tak bisa menaklukkan ketakutan tak berdasar orang-orang, mengapa tidak justru memanfaatkannya? Bila Anda tak bisa menghentikan hoaks, bukankah lebih produktif untuk menungganginya?

Akhirnya, kita menemukan kegamangan, pengultusan yang tak jarang dibumbui dengan narasi hari akhir berkembang sangat marak setiap kali perhelatan demokrasi mendekat. Betapapun "massa mengambang” bisa berpindah dari satu kandidat pejabat ke kandidat pejabat lain, mereka toh tak akan berpindah ke kandidat pejabat yang dikabarkan tak bermoral atau tak beragama. Dan betapapun "massa mengambang” bisa mengalihkan pilihan mereka karena selera subjektif—karena satu kandidat lebih tampan dibandingkan yang lain, katakanlah—mereka tak akan memilih kandidat yang berarti akhir dunia bagi mereka.

Dapatkah Anda menyalahkan Orde Baru karena memulai semua ini dengan menjadikan masyarakat kita apolitis? Tentu. Tetapi, Anda pun harus menyalahkan juga mereka yang melestarikannya dengan terus-menerus memanfaatkannya.

Preseden Masa Depan

Tentu saja, situasi ini tak mengenakkan untuk para politisi. Ini berarti mereka harus bersiap dengan segala kemungkinan sampai dengan detik terakhir. Tak pernah ada hari tenang—apalagi minggu tenang—untuk mereka. Sekali isu keyakinan berhasil menjegal mereka, apa yang mereka bangun untuk waktu yang lama dapat terlucuti dalam sekejap. Namun, ini belumlah konsekuensi terburuknya.

Apa yang akan terjadi adalah ini menyediakan preseden ke pemilihan-pemilihan di masa mendatang bahwa pencitraan hitam dengan mengandalkan simbol agama, pengidolaan buta selalu siap dipergunakan untuk mengerek reputasi satu kandidat dan menjatuhkan yang lainnya. Para pejabat selama ini terbiasa mempergunakan dalih-dalih moralitas instan untuk membangun popularitasnya. Suka atau tidak suka, semua isyarat memperlihatkan ia masih akan berlangsung sampai dengan masa mendatang yang belum bisa kita lihat kapan akhirnya, dan ajang pembuktian terdekatnya tak lain dari putaran kedua Pilkada Jakarta.

Dan siapa yang tertawa terakhir? Sayangnya, bukan kita. Bukan kita yang tak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk mengangkat dan menggugat pejabat berdasarkan komitmen konkretnya.

Penulis:

Geger Riyanto (ap/rzn)

Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.