Seperti yang berulangkali ditunjukkan pada perundingan sebeluumnya PM Yunani Alexis Tsipras selalu siap dengan sebuah kejutan. Mula-mula dengan gagasan mengajukan mosi kepercayaan di parlemen, kemudian dengan ide menggolkan aturan penghematan dalam sidang khusus parlemen. Akhirnya, Tsipras seolah-olah spontan, memutuskan unduk mundur.
Kini presiden Prokopis Pavlopoulos menghadapi masalah pelik. Sesuai konstitusi Yunani, ia harus memberi kesempatan kepada fraksi terbesar untuk membentuk pemerintahan koalisi baru. Namun hingga detik-detik terakhir, presiden tidak mengeluarkan dekritnya. Hal ini memicu spekulasi. Apakah presiden menafsirkan konstitusi secara berbeda? Atau akan mengukuhkan sempalan partai Syriza sebagai fraksi ketiga terbesar dan diberi mandat untuk membetuk koalisi baru, agar partai ekstrim kanan terdepak? Segalanya mungkin terjadi. Tak ada yang mustahil dalam kiprah politik di Yunani.
Terlepas dari semua itu, pertanyaan utama tetap bergaung. Apa sebabnya Tsipras tetap ingin menjajaki peluang politik itu sekali lagi? Jawabannya juga singkat: karena tidak ada alternatif lain. Tsipras kini ibararatnya ketua partai tanpai partai yang definitif, setelah puluhan anggota parlemen dari partai kiri mencabut dukungannya, dan rancangan undang-undang penting ironisnya bisa lolos dengan dukungan partai oposisi.
Sebuah pemilu baru akan menguntungkan posisi PM dari partai kiri tersebut, karena dengan itu ia bisa menyusun daftar pendukungnya dan mengerem kelompok yang akan menentangnya. Pemilu baru yang secepatnya digelar juga akan memberikan impuls baru, untuk menghambat kelompok radikal kiri yang menyempal, yang dipimpin menteri energi yang dibenci, Lafazanis untuk menggalang front dan dukungan menentang politik penghematan anggaran, guna menekan perolehan suara Tsipras.
Tidak mengherankan jika lawan politik Tsipras itu memprotes terlalu pendeknya waktu kampanye yang tersedia. Padahal tokoh yang sama juga memprotes masa kampanye menjelang referendum yang disebut kurang cepat.
Yang jelas, sejarah Yunani mengajarkan, bahwa sebuah partai berhaluan kiri akan sukses memerintah, jika dipimpin seorang tokoh karismatik dan mampu merangkul kalangan menengah di negara itu. Partai Syriza yang dipimpin Tsipras kelihatan memenuhi persyaratan ini. Sementara kekuatan radikal yang menyempal tidak. Jika Tsipras bisa memanfaatkan keuntungan soal waktu ini, untuk mendepak kubu radikal di dalam partai kiri lewat pemilu baru, maka bakatnya untuk melancarkan taktik pemilu akan terbukti lagi.
Tapi masalahnya: tiga kali pemilihan umum dalam jangka waktu hanya tujuh bulan, tidak akan memecahkan satupun masalah finansial. Sebaliknya, pemilu baru justru menelan ongkos cukup besar.